Wajah Umum Masyarakat Malut Sebagai Wilayah Pertambangan

Cerita Umum
Realitas yang terjadi menunjukkan bahwa proyek energi berbasis nikel tidak otomatis menghadirkan energi hijau. Justru dalam prosesnya, kerusakan ekologis semakin nyata. Cerita umum ini sering disebut sebagai “kutukan sumber daya alam”, atau bahkan “kutukan kemewahan alam”.
Di balik kilau nikel, tersimpan dampak sosial-ekologis yang cenderung negatif: deforestasi, pencemaran air dan udara, rusaknya ekosistem pesisir, hingga hilangnya akses masyarakat lokal dan adat terhadap tanah, air bersih, dan ruang hidup yang layak. Semua ini adalah derita umum wajah masyarakat lingkar tambang.
Program transisi energi yang masif justru mendorong ekspansi lahan pertambangan. Akibatnya, terjadi pembongkaran lahan besar-besaran. Pertanyaan pun muncul: apakah energi terbarukan ini benar-benar hijau dan berkeadilan sosial?
Laporan Transparency International Indonesia dalam bukunya Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya Studi Kasus di Halmahera Timur dan Tengah menegaskan bahwa atas nama hilirisasi, justru terjadi perusakan ekosistem, perampasan tanah, serta pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat maupun lokal.
Meski nikel nasional melimpah, manfaatnya tidak dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Justru keuntungan terbesar jatuh ke tangan asing, oligarki, dan penguasa yang mengendalikan regulasi.
Dilema Umum
Pandangan umum menilai industri tambang membawa dampak buruk: hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan lingkungan, kontaminasi air permukaan dan tanah, erosi, hingga pencemaran udara.
Penambangan juga memicu terbentuknya lubang-lubang besar, risiko kebocoran bahan kimia, serta pencemaran laut yang berdampak pada biota, bahkan mengandung merkuri dan arsenik. Semua ini jelas memengaruhi kesehatan masyarakat sekitar tambang.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar