Krisis Komunikasi Negara

Andri Permata

Kita adalah bangsa yang terbiasa dengan puisi. Kita mengerti metafora. Kita bisa lihat makna di balik kata-kata. Maka, ketika pemerintah berbicara tentang "peningkatan kualitas pelayanan" sementara di ruang tunggu rumah sakit pasien masih berdesak-desakan, kita tahu itu bukan puisi, tapi dusta.

Dan dusta dalam urusan yang menyentuh hidup dan mati rakyat adalah dosa paling tak terampuni. Dosa yang seringkali justru dibalut dengan narasi indah oleh humas yang kehilangan jati diri.

Humas adalah perantara yang sering terlupakan, jembatan yang sering terinjak, tapi tetap bertahan karena keyakinan bahwa komunikasi jujur adalah fondasi kepercayaan. Tanpa kepercayaan, institusi hanyalah bangunan kosong tanpa jiwa.

Maka menjadi humas sejati adalah memilih menjadi jembatan yang tetap kokoh meski terinjak, karena menyadari bahwa tanpanya, komunikasi antara negara dan rakyat akan putus total.

Maka, mari lihat kehumasan bukan sebagai posisi strategis, tapi sebagai panggilan. Panggilan untuk menjadi jernih di tengah keruh, cepat di tengah lambat, dan benar di tengah seringkali salah.

Karena pada akhirnya, kita kembali pada pertanyaan mendasar untuk siapa kebijakan ini dibuat? Jika jawabannya untuk rakyat, maka rakyat harus merasakan manfaatnya. Jika jawabannya untuk statistik dan laporan tahunan, maka kita sedang berada dalam kapal salah arah.

Dan humas adalah nahkoda yang seharusnya membawa kapal ini ke pelabuhan yang benar, bukan sekadar melaporkan cuaca cerah saat badai sesungguhnya sudah di depan mata.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7

Komentar

Loading...