Krisis Komunikasi Negara

Sebuah ironi Humas yang seharusnya diharapkan dapat menjadi telinga dan mulut institusi, tapi seringkali hanya jadi corong tanpa daya, gema tak mampu menggerakkan tangan.
Ketika humas kehilangan kemampuan menggerakkan tangan institusi, maka lenyaplah fungsi esensialnya sebagai jembatan dua arah.
Kita masih tersesat dalam memahami potensi sesungguhnya kehumasan. Ia seharusnya diberi otoritas lebih bukan sekadar penyampai pesan, tapi juga pengawal aduan.
Setiap keluhan publik perlu mekanisme pelacakan jelas, sehingga tak ada suara yang kandas di tengah jalan, tak ada harapan terkubur bersama berkas usang. Tanpa itu, Humas hanyalah wayang ditarik benang oleh dalang tak terlihat.
Orang di luar sana tak pernah melihat, apalagi merasakan, bagaimana crisis management dalam kehumasan benar-benar menguras energi dan pikiran. Sebab di balik setiap rilis yang rapi, tersimpan pertarungan sunyi yang menguras nurani.
Netizen mungkin hanya lihat rilis rapi dan unggahan media sosial cantik, tapi tak pernah tahu pertarungan di balik layar, negosiasi dengan ego birokrasi, tekanan waktu menyesakkan, dan keputusan sulit ketika teori tak lagi berlaku.
Menjadi Humas bukan sekadar menguasai konsep, ini soal seni bertahan dalam badai. Ya, badai yang semakin mengamuk ketika ketidaksensitivitas pejabat menjadi pemicu konflik.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar