Krisis Komunikasi Negara

Andri Permata

Oleh: Andri Permata
(Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Haluoleo Kendari, PNS Pemda Taliabu)

Gelombang aksi hari ini, entah mungkin esok, tak pernah benar-benar tentang satu hal saja. Ia cermin retak dari kekecewaan terakumulasi, seperti air yang terus menetes hingga melubangi batu bukan karena kekuatan, tapi ketekunan.

Suara-sumbang di jalanan takkan surut jika akar masalah tak benar-benar disentuh. Dan di sinilah penulis melihat krisis komunikasi negara dimulai, ketika telinga penguasa memilih tuli.

Baca Juga: Pembangkangan Konstitusi oleh DPR dan Aparat Kepolisian

Ketika pemerintah menganggap desakan publik riak kecil di kolam luas, mereka abaikan hukum fisika sosial dimana setiap tekanan yang tak diberi ruang akan mencari jalan keluarnya sendiri. Jalanan bisu berubah menjadi mimbar orasi lantang.

Ini soal kemampuan mendengar, bukan menang atau kalah. Sayang, telinga kini lebih sibuk mendengar desas-desus di balik layar ketimbang jeritan dari depan panggung.

Padahal, fenomena ini harusnya menjadi panggung utama bagi kegagalan kehumasan yang seharusnya menjadi pendengar pertama.

Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi, Kamis 4 September 2025

Kegelisahan masyarakat kini merembet hingga ke urusan paling mendasar, isi dompet. Kebijakan fiskal yang memberatkan di tengah krisis ekonomi, seperti kenaikan iuran BPJS dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), semakin menambah beban.

Di saat yang sama, kenaikan tunjangan DPRD justru memicu amarah dan menjadi pemicu utama demonstrasi. Pada titik inilah, peran humas sangat krusial.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7

Komentar

Loading...