Bully: Racun Sunyi yang Membunuh Karakter

Bellarosita Faisal

Fakta ini menunjukkan racun bully kian menyebar, sementara kesadaran untuk menanganinya belum sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.

BK hadir bukan hanya sebagai “pemadam kebakaran” setelah kasus terjadi, tetapi juga sebagai benteng pencegahan.

Baca Juga: Peran Bimbingan Konseling dalam literasi

Guru BK perlu membangun budaya empati melalui konseling individu, layanan bimbingan kelompok, hingga kampanye literasi karakter yang menyentuh hati siswa. Pendidikan karakter tanpa aksi nyata hanya akan menjadi slogan kosong.

Namun, menghentikan bully tidak bisa hanya mengandalkan regulasi atau hukuman. Lebih dari itu, dibutuhkan ekosistem pendidikan yang sehat, tempat setiap siswa merasa aman, dihargai, dan punya ruang untuk berkembang.

Orang tua harus lebih peka terhadap perubahan perilaku anak di rumah, guru perlu lebih sigap dalam membangun komunikasi yang humanis, dan sekolah wajib menyediakan sistem pelaporan yang aman bagi korban tanpa rasa takut dibalas atau dipermalukan.

Baca Juga: Bimbingan Konseling Keluarga: Pilar Pemulihan Mental Anak Pasca Perceraian

Selain itu, pendidikan nilai harus dihidupkan kembali, bukan sekadar lewat teori, tetapi melalui teladan nyata. Anak yang terbiasa menyaksikan keteladanan empati, toleransi, dan penghargaan dari lingkungannya akan lebih kecil kemungkinannya menjadi pelaku bully.

Racun sunyi ini hanya bisa diputus jika semua pihak menolak diam. Karena setiap anak berhak tumbuh dengan karakter yang sehat, dan setiap guru berhak dihormati atas dedikasinya. Saat kita bersatu melawan bully, kita sedang menjaga masa depan bangsa dari kerusakan yang lebih dalam. (*)

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...