Mantra Merdeka

Oleh: Herman Oesman
(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)
“Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu gerbang menuju masyarakat adil dan makmur” (Mohammad Hatta, 1953 : 17)
Ketika kata merdeka diucapkan, ia sejatinya merupakan sebuah mantra. Mantra yang tidak hanya lahir dari seruan heroik para pejuang di medan perang, tetapi juga dari getar harapan rakyat kecil yang ingin hidup layak, tanpa penindasan, tanpa kekerasan, dan tanpa rasa takut.
Namun, setelah delapan puluh tahun kemerdekaan diproklamasikan, realitas bangsa masih terjebak dalam lingkaran paradoks: rakyat kian miskin, pejabat sibuk rangkap jabatan, pajak membengkak, warga ditahan karena berbeda suara, kekerasan merajalela, lingkungan rusak, dan praktik ekstraktif makin massif.
Baca Juga: Pemerintah Daerah, Mitigasi Bencana, Edukator Publik
Dalam kondisi ini, mantra merdeka terdengar lebih sebagai gema kosong daripada sebuah kenyataan. Kemiskinan menjadi wajah paling nyata dari ironi kemerdekaan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, meski tingkat kemiskinan menurun secara statistik, namun jumlah masyarakat rentan miskin justru meningkat akibat ketimpangan pendapatan dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Banyak keluarga masih hidup di bawah garis kemiskinan, dengan penghasilan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar: pangan, kesehatan, pendidikan, dan perumahan.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi, Rabu 20 Agustus 2025
Amartya Sen dalam karyanya Development as Freedom menyebutkan bahwa kemiskinan bukan sekadar ketidakcukupan pendapatan, melainkan ketidakmampuan dalam mengakses kebebasan substantif, seperti kesehatan, pendidikan, dan partisipasi sosial (Sen, 1999 : 87).
Dengan perspektif ini, rakyat Indonesia yang masih menderita kekurangan gizi, akses pendidikan rendah, serta minim jaminan kesehatan, sesungguhnya masih jauh dari makna merdeka yang sejati.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar