Tumpang Tindih Kebijakan

KEBIJAKAN atau undang-undang seharusnya dibuat berlandaskan perkembangan masyarakat secara keseluruhan yang mendukung agar kebijakan itu bersifat kondusif. Bahkan melibatkan semua pihak sebagai keterwakilan untuk merumuskan kebijakan yang benar-benar punya orientasi dan mengakar terhadap masyarakat secara umum masyarakat Indonesia, terutama masyarakat akar rumput (tidak mampu). Sejauh yang berkembang saat ini ialah keterlibatkan hanyalah pihak legislatif, yudikatif, dan eksekutif, sebagai penentu dalam pengambilan keputusan untuk menciptakan suatu Undang-Undang. Pada akhirnya, kebijakan tersebut dianggap berjalan tidak sesuai dengan apa yang di ingingkan oleh masyarakat.
Legislatif dengan cara pandangnya sendiri, juga yudikatif sebaliknya, dan bahkan eksekutif adalah biang kerok dari semua permasalahan tentang “tumpang tindih kebijakan” yang berlangsung saat ini. Bisa dicernah dari pembentukan UU Cipta Kerja, hingga berbagai macam regulasi lainya dibuat dan dipustakan hanya atas dasar kepentingan segelintir orang yang berkuasa. Hal sedemikian, telah nampak dipermukaan baik secara sadar maupun tidak sadar, negara dengan dalil kekuasaannya membuat semuanya terpenjara dan dipaksakan untuk turut terhadap legitimasi kekuasaan.
Penulis sedikit risih ketika mendengar bahwa negara ini adalah negara hukum, segala hal dilakukan tidak terlepas dengan hukum itu sendiri, sementara kebijakan dilakukan hingga disahkan itupun tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, lalu yang dimaksud dengan dasar konsep negara hukum itu seperti apa bentuknya. Apakah hukum berlaku untuk yang berkuasa, ataukah hukum dibuat hanya untuk menekan kaum yang lemah. Negara hukum tetapi hukum diputuskan sepihak, tanpa melibatkan semua pihak yang semestinya dilibatkan agar saran-saran tersampaikan dengan baik dan benar, sebelum memutuskan suatu kebijakan tersebut. Sebab wujud dari yang esa ialah menjunjung tinggi nilai-nilai atau asas suatu negara. Indonesia didalamnya terdapat UUD 1945 juga Pancasila sebagai acuan dasar falsafah bangsa Indonesia. Ternyata yang terpikirkan adalah konsep yang membekas tapi tak berarti luas.
Sudah terdapat banyak sekali turunan dari UUD 1945, melalui kesepakatan segelintir orang dan melakukan amandemen hingga menciptakan berbagai macam regulasi yang timpang, bahkan tak bersesuaian dengan kehidupan masyarakat di era ini. Mungkin Indonesia telah dari awal dianggap sebagai negara bekas jajahan oleh bangsa-bangsa asing, seperti Belanda, Spanyol, Portugis, Inggris, Jepang, dan beberapa negara bagian luar lainnya. Yang membuat kita tertinggal bahkan negara paling terbelakang (sebagai negara yang macet dalam berkembang), konteksnya ilmu pengetahuan pun sama yang terjadi.
Lalu apa seharusnya mau dibanggakan oleh negara Indonesia, kalau rakyat saja ditelantarkan. Sebagian besar pengurus pemerintahan baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif kompak terhadap kemiskinkan, pengangguran kian kompleks terjadi pada masyarakat Indonesia. Apalagi yang hidup di pelosok-pelosok desa terpencil, segala akses berupa fasilitas pun terbatas. Alih-alih konsep kesejahteraan selalu saja dikumandangkan oleh mereka sebagai elit-elit politik, yang setiap kalinya turun dan meminta-minta agar suara rakyat diberikan, bahkan terkesan mereka terlihat seperti pengemis yang lapar akan suara-suara rakyat. Sangat membosankan, tetapi semuanya diterima baik oleh masyarakat dan menganggap hal serupa bagian dari mensupport kerja-kerja ekonomi politik kekuasaan yaitu sifatnya barter (mani politik).
Kegagalan suatu negara dilihat dari cara bagaimana pengelolaan sumber daya manusia (SDM) didukung dengan sistem pendidikan yang tak se-arah, akhirnya melahirkan kerentanan terhadap suatu negara tersebut. Mengingat semua permasalahan yang berlangsung, pada dasarnya bersumber dari penerapan pendidikan itu sendiri. Sementara pendidikan dikelola berlandaskan kategori (mapan ekonominya) yang bisa menikmati. Disini saya sebagai penulis merasa dilema atas semua yang telah terjadi, menganggap pemerintah tidak lagi waras dalam membaca situasi dan kondisi yang dirasakan oleh masyarakat. Karena dalam pengambilan keputusan, rakyat sudah tidak lagi dilibatkan kedalam, ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "negara demokrasi" telah hilang akan eksistensinya.
Konon katanya dari rakyat untuk rakyat, kini berubah menjadi dari pemodal ke rekening sendiri (pemilik saham), rakyat diperas tanpa ampun melalui kebijakan penguasa yang haus akan kekayaan. Akhir-akhir ini penulis berupaya membaca dinamika Indonesia melalui informasi yang beredar di dinding-dinding media sosial, bahwa perdebatan UU kontroversial sengaja dibuat, agar dapat mengambil semuat aset milik masyarakat salah satunya "hak atas tanah".
Telah nampak kejahatan yang direncanakan dan seringkali dimainkan oleh pemerintahan saat ini, padahal kalau kita membuka kembali UUPA No 5 Tahun 1960 yang berbicara tentang reforma agraria, sudah sangat jelas dalam menjelaskan hak kepemilikan tanah bagi rakyat, terutama petani. Dan itu tidak semestinya menjadi hak bagi negara untuk mengintervensi masuk kedalam dan mencoba mengambil semua dengan dalil "tanah terlantar" maka negara wajib mengambil ahli untuk dikelola. Saya sebagai penulis sedikit terganggu kalau konsep pengelolaan tersebut ujung-ujungnya yang lebih diutamakan ialah industri ekstraktif dalam hal melakukan pembebasan lahan tanpa ada yang mengintervensi. Terkesan negara coba membunuh rakyat secara perlahan-lahan menggunakan aturan yang kontroversi itu.
Petani sudah cukup lama menderita untuk berjuang mempertahankan tanahnya dari ancaman investasi. Tipu muslihat selalu di gencarkan Badan pertahanan nasional (BPN) untuk melakukan sertifikasi hak milik tanah kepada petani. Tapi pada akhirnya, petani tetap saja kehilangan harta karung (tanah) itu sendiri. Dalam catatan perjuangan, Petani memberontak dengan sigap menghadang apa saja yang ada didepan mereka entah itu meriam, gas air mata, wather canon, serta suara bedil meriam tak mampu menghentikan apa yang mesti dipertahankan, bahkan mereka juga rela bila sewaktu waktu dalam perjuangan kehilangan nyawa.
Tanah sebagai ibu yang bisa menghidupkan berbagai macam kehidupan. Semua bisa ditanam dan tumbuh diatas tanah. Maka berterimah kasihlah pada tanah yang memberimu hidup sampai saat ini. Tanah adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup, bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Manusia senantiasa berhubungan dengan tanah tidak hanya hidup bahkan ketika matipun manusia tetap memerlukan tanah dan masih berhubungan dengan tanah. Kita perlu sadari tumbuhan dan hewan merupakan simbiosis mutualisme yang tak dapat melepas pisahkan antara satu dengan yang lainnya. Karena sejatinya alam adalah keanekaragam hayati bukan tanaman monokultur ala penguasa. Komoditi lokal digusur, benih yang baru semai dicabut lalu diganti dengan tanaman pabrik investasi oleh pemodal lewat kaki tangan penguasa.
Indonesia krisis keadilan, sementara pemerintah senang duduk menikmati kekayaan. Karena kebijakan selalu berpihak pada meraka, bukan untuk rakyat-rakyat kecil yang selalu meneriaki kemerdekaan atas haknya yang dirampas.(*)
Komentar