Menimbang Ulang Arah Pembangunan Maluku Utara
Kado Ulang Tahun untuk Ibu Gubernur

Selain itu, data citra satelit yang dianalisis oleh Forest Watch Indonesia (2024) menunjukkan bahwa Maluku Utara kehilangan ribuan hektar tutupan hutan primer dalam lima tahun terakhir, sebagian besar di wilayah konsesi pertambangan. Hilangnya hutan tidak hanya berarti berkurangnya penyerap karbon, tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati dan sumber air bersih bagi masyarakat lokal.
Dalam perspektif teori ekologi politik yang dikemukakan oleh Blaikie & Brookfield (1987), situasi ini menunjukkan bagaimana pembangunan di Maluku Utara masih menempatkan lingkungan sebagai variabel residual, faktor yang dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Baca Juga: Hak Masyarakat Adat dan Kebijaksanaan Politik
Ekologi politik mengingatkan bahwa degradasi lingkungan bukanlah akibat sampingan yang netral, melainkan hasil dari relasi kekuasaan yang menempatkan kepentingan korporasi dan negara di atas hak-hak ekologis masyarakat.
Peringatan akan bahaya ini sejalan dengan temuan Jared Diamond dalam bukunya Collapse. How Societies Choose to Fail or Succeed (2005). Diamond menunjukkan bahwa banyak peradaban besar dalam sejarah seperti Pulau Paskah dan Kekaisaran Maya runtuh bukan semata karena perang atau bencana alam, melainkan akibat ketidakmampuan mereka mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Jika kerusakan lingkungan dibiarkan tanpa koreksi kebijakan, kemajuan ekonomi yang dibangun di atasnya akan menjadi rapuh dan tidak berumur panjang.
Dengan kata lain, krisis ekologi yang terjadi di Maluku Utara saat ini bukan hanya soal pencemaran atau deforestasi, tetapi merupakan indikator awal dari risiko keruntuhan sosial-ekonomi di masa depan.
Tanpa perubahan paradigma pembangunan, pertumbuhan yang dibanggakan akan menjadi bagian dari narasi “kemajuan semu” yang, seperti peradaban-peradaban yang dikisahkan Diamond, perlahan menuju titik runtuhnya sendiri.
Represi terhadap Warga Maba Sangaji
Kasus penangkapan sebelas warga Maba Sangaji di Halmahera Timur pada awal 2025 merupakan ilustrasi nyata ketegangan antara kepentingan industri ekstraktif dan hak-hak warga negara atas ruang hidup.
Warga tersebut ditangkap setelah melakukan aksi penolakan terhadap aktivitas pertambangan di wilayah yang mereka klaim sebagai tanah ulayat sekaligus sumber penghidupan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar