Tete Ali dan Komunikasi Empatik di Media Sosial

Makbul A.H Din

Oleh: Makbul A.H Din
(Dosen IAIN Ternate)

Belakangan ini lagi viral di medsos, Tete Ali dengan ciri khas bahasa mumaki (cacian) kepada orang disekitar yang selalu memancing emosinya. Kata-kata Tete Ali seperti, mohon maaf, “kim Mai” “Ngoni pe…(menyebut alat kelamin laki-Laki), tentu dengan penuh emosional.

Mulanya biasa saja, lama-lama viral dan menjadi bahan tontonan publik. Bahkan Tete Ali ke Ternate, ada yang menjemputnya, disugukan tarian soya-soya, nginapnya juga di penginapan atau hotel. Beragam pandangan tentang hal ini-pun bermunculan.

Baca Juga: Framing Medsos Kepala Daerah

Misalnya, seorang dosen komunikasi IAIN Ternate berpandangan “Tete Ali sebagai sebuah fenomena atas kejenuhan terhadap komunikasi kita yang penuh pura-pura dan mengutamakan citra, serta menyembunyikan kelicikan.

Ungkapan kasar, makian dan nada penuh emosi, kerap lahir sebagai bentuk kejujuran emosional Tete Ali terhadap kepalsuan, sopan santun yang hanya basa basi untuk menutupi tabeat buruk kita”.

Pandangan rekan dosen tersebut seakan menunjukkan pada kita semua yang sering berkomunikasi kasar, penuh intimidasi, saling menyerang, bahkan perilaku koruptif, perilaku tak bermoral, yang kita pertontonkan kepada publik.

Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 5 Agustus 2025

Tak malu-malu para pejabat, pengusaha, juga politisi mempertontonkan prilaku destruktif di media sosial. Dibandingkan seorang tete Ali, tidak seberapa, emosionalnya didesain, dibuat, dipancing, dan akhirnya keluar kata-kata yang kasar, penuh makian, dan ini justru menarik perhatian serta menjadi bahan tontonan.

Populernya Tete Ali dengan karakternya, tidak terlepas dari media sosial membloup-nya. Olehnya itu, ada dua hal yang ingin saya katakan bahwa :

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...