Catatan
Festival Nyao Fufu

Secara global, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi di mana semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap makanan yang cukup, aman, dan bergizi (FAO, 2021).
Dalam kerangka ini, masyarakat pesisir/maritim sebenarnya memiliki potensi tinggi dalam mendukung ketahanan pangan nasional melalui hasil laut.
Baca Juga: Pemerintah Daerah, Mitigasi Bencana, Edukator Publik
Namun, kondisi sosial-ekologis mereka justru semakin rapuh, termasuk praktik ekstraktif yang ikut memberi pengaruh bagi masa depan ekologis laut.
Beberapa penelitian mencatat, bahwa tekanan terhadap ekosistem laut, seperti reklamasi, pencemaran, dan penangkapan ikan berlebihan, menyebabkan menurunnya hasil tangkapan tradisional.
Akibatnya, nelayan kecil terpaksa membeli ikan dari kapal besar atau beralih profesi, yang berdampak langsung pada konsumsi pangan lokal. Di sisi lain, konsumsi masyarakat mengalami pergeseran.
Produk instan dan makanan cepat saji kini mendominasi pasar, menggantikan lauk-pauk tradisional berbasis ikan segar. Anak-anak muda di pesisir pun banyak yang lebih mengenal ayam goreng franchise daripada ikan bakar rumahan.
Baca Juga: Transisi Energi, Praktik Ekstraktivisme, dan Masa Depan Wilayah Pulau
Dalam konteks ini, Festival Nyao Fufu tidak hanya berfungsi sebagai nostalgia, tetapi juga sebagai strategi edukatif untuk memulihkan selera dan kebanggaan terhadap makanan lokal.
Dalam teori budaya resistensi yang dikemukakan oleh James C. Scott (1985), aksi-aksi simbolik seperti festival rakyat dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan tersembunyi (hidden transcript) terhadap dominasi sistemik.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar