Implementasi Pendidikan Inklusif, Antara Paradigma Humanistik dan Realitas Struktural

Lebih jauh, sistem pendidikan kita masih dikendalikan oleh logika struktural yang menempatkan sekolah sebagai institusi reproduksi sosial.
Dalam Sosiologi Pendidikan karya Zamroni, dijelaskan bahwa pendidikan tidak pernah netral, ia selalu berkelindan dengan kekuasaan, status sosial, dan politik identitas. Dalam konteks pendidikan inklusif, sekolah masih gagal menjadi ruang sosial yang adil bagi semua peserta didik.
Baca Juga: Prostitusi dalam Tubuh Pendidikan
Anak-anak dengan latar belakang disabilitas, kemiskinan, atau minoritas kultural masih menghadapi tantangan sistemik baik dari segi infrastruktur, tenaga pengajar, kurikulum, maupun penerimaan sosial. Ketimpangan ini tampak, misalnya, pada minimnya kesiapan sekolah untuk menerima peserta didik berkebutuhan khusus.
Banyak sekolah negeri maupun swasta belum memiliki guru pendamping yang terlatih dalam pedagogi inklusif. Kurikulum masih disusun dalam kerangka homogen yang mengabaikan diferensiasi kebutuhan peserta didik.
Bahkan, dalam banyak kasus, sekolah justru menjadi ruang yang melanggengkan kekerasan simbolik, memaksakan standar tunggal pada semua peserta didik dan menyingkirkan mereka yang dianggap “tidak mampu menyesuaikan diri”.
Baca Juga: Implementasi Double Shift di Satuan Pendidikan
Dalam konteks ini, Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas mengingatkan bahwa pendidikan tidak boleh menjadi alat penindasan yang membungkam pengalaman hidup peserta didik.
Sebaliknya, pendidikan harus menjadi praktik pembebasan yang mengangkat realitas peserta didik sebagai bagian dari proses belajar yang bermakna dan kritis.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar