Transisi Energi, Luka yang Ditinggalkan di Halmahera

Asep Gunawan

Pemerintah juga mendorong hilirisasi nikel sebagai bagian dari industrialisasi hijau. Namun, narasi kemajuan itu seolah melupakan satu hal penting: bahan baku utama baterai listrik: nikel, diambil dari tanah-tanah yang selama ini terpinggirkan. Salah satunya: Maluku Utara.

Dari Tanah Halmahera: Ekstraksi yang Membekas

Proyek industri baterai senilai hampir Rp100 triliun yang diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai proyek groundbreaking ekosistem industri kendaraan listrik terintegrasi konsorsium Antam, IBC, dan CBL, dibangun di Kecamatan Maba, Halmahera Timur.

Baca Juga: Surat Terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto

Proyek ini tidak hanya menjadi simbol hilirisasi, tetapi juga menghubungkan rantai pasok nikel dari Halmahera Tengah hingga Halmahera Selatan.

Kompleks ini mencakup tambang, smelter, pabrik prekursor dan katoda, serta pabrik daur ulang dengan kapasitas 20 ribu ton logam per tahun. Tapi megastruktur itu dibangun di atas hutan yang hilang, sungai yang tercemar, dan ruang hidup warga yang terus menyempit.

Laporan Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako (Mei 2025) mencatat pencemaran logam berat dalam tubuh warga dan ikan di Teluk Weda. 47 persen sampel darah mengandung merkuri di atas ambang aman WHO, dan 32 persen untuk arsenik. Kasus ISPA melonjak drastis dalam tiga tahun terakhir.

Baca Juga: Hilirisasi Nikel dan Luka Ekologis di Teluk Weda

Tak hanya kesehatan. Ekspansi tambang juga menimbulkan konflik agraria dan kriminalisasi terhadap warga adat. JATAM mencatat, emisi dari smelter Harita setara dengan 1,8 juta mobil per tahun.

Ironi dari proyek yang disebut sebagai solusi iklim. Di sisi lain, ekosistem pesisir dan mangrove yang rusak membuat masyarakat pesisir kehilangan sumber nafkah dari laut yang tercemar.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...