Ironi Pertumbuhan Tertinggi Nasional di Maluku Utara

Kita harus berani bertanya: pertumbuhan ekonomi ini untuk siapa? Apakah kita hanya mengejar angka PDRB yang tinggi sebagai sebuah prestasi statistik, atau kita bertujuan untuk pembangunan manusia yang seutuhnya?
Sebuah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas seharusnya inklusif, menciptakan lapangan kerja yang luas dan layak, serta meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara merata.
Baca Juga: Memahami Data Kemiskinan
Dominasi industri pertambangan, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat, berisiko menciptakan "ekonomi kantong" (enclave economy), di mana kekayaan hanya berputar di dalam lingkaran industri dan tidak terintegrasi dengan ekonomi lokal.
Sementara itu, sektor-sektor yang menjadi sandaran hidup mayoritas penduduk, seperti perikanan dan pertanian, justru menghadapi ancaman dari dampak lingkungan aktivitas pertambangan.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus segera melakukan reorientasi kebijakan. Pertumbuhan ekonomi harus diiringi dengan instrumen pemerataan yang kuat.
Baca Juga: Menjaga Kelas Menengah, Menjaga Stabilitas Ekonomi
Ini bisa berupa regulasi yang lebih ketat mengenai dana bagi hasil, kewajiban perusahaan tambang untuk program pengembangan masyarakat (CSR) yang berdampak nyata, serta perlindungan terhadap ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat lokal.
Investasi harus mulai didiversifikasi ke sektor-sektor yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) lebih besar bagi ekonomi lokal, seperti agroindustri, perikanan berkelanjutan, dan pariwisata.
Tanpa langkah-langkah korektif ini, Maluku Utara akan selamanya terjebak dalam ironi: menjadi provinsi dengan pertumbuhan tertinggi, namun dengan rakyat yang kesejahteraannya tertinggal. Angka di atas kertas memang penting, tetapi senyum dan kesejahteraan di wajah masyarakat jauh lebih berharga. (*)
Komentar