Oleh: Riski Ikra
(Ketua Umum HPMB)
Di tengah hiruk-pikuk pembangunan yang disulap menjadi mantra kemajuan oleh elite politik dan korporasi, ada satu suara yang perlahan ditenggelamkan oleh gemuruh mesin, suara itu adalah Fagogoru.
Bukan sekadar warisan budaya atau simbol seremoni adat, Fagogoru adalah roh kolektif masyarakat Maba, Patani, Weda.
Baca Juga: Tranformasi Fagogoru sebuah Visi Ikram M. Sangaji
Tiga negeri ini yang sekarang di kenal secara umum: Halmahera Tengah, Halmahera Timur. sebuah sistem pengetahuan yang menjalin keterhubungan antara manusia, alam, dan leluhur.
Ia hidup dalam tutur, dalam ritus, dalam keseharian, dan dalam filosofi yang mengajarkan keberlanjutan jauh sebelum kata “ekologi” menjadi jargon global.
Namun kini, Fagogoru digiring ke pinggiran; dikutip saat kampanye, dilupakan usai pemilihan; dimasukkan ke dalam brosur pariwisata, tapi ditinggalkan dalam perencanaan pembangunan.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 3 Juli 2025
Ketika pembangunan berubah menjadi alat kekuasaan dan bukan kesejahteraan, Fagogoru tidak lagi dipandang sebagai penuntun. Ia dianggap usang, tak sesuai zaman.
Padahal justru sebaliknya: nilai-nilai yang dikandung Fagogoru, seperti prinsip “ngaku rasai” kesadaran akan keterhubungan semua unsur kehidupan menjadi sangat relevan di era krisis iklim dan keterasingan sosial.
Baca Halaman Selanjutnya..
Fagogoru mengajarkan bahwa setiap tindakan harus memikirkan dampaknya hingga tujuh generasi ke depan, sebuah logika ekologis dan moral yang tak dimiliki oleh pembangunan yang hanya berorientasi pada investasi dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Namun sayangnya, pendidikan kita justru menjauh dari akar budaya ini. Anak-anak di Halmahera Tengah, dan Halmahera Timur diajari soal revolusi industri Eropa, tetapi tidak diajak memahami makna Lalayon, Cakalele, dan Falsafah Fagogoru.
Baca Juga: Bumi Fagogoru
Sistem perladangan tradisional yang menjadi cermin keseimbangan antara manusia dan bumi. Mereka bisa menjawab soal pilihan ganda tentang globalisasi, tetapi tidak tahu bahwa menebang pohon tanpa ritus adalah penghinaan terhadap siklus kehidupan yang diyakini leluhurnya.
Pendidikan kita menjadi asing di tanah sendiri. Ini bukan sekadar kegagalan kurikulum, ini adalah bentuk kolonialisme baru: menjauhkan anak dari tanah, dari nilai, dari sejarahnya sendiri.
Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu (1930-2002), pernah menyebut bahwa sistem pendidikan mereproduksi ketimpangan sosial dengan memaksakan budaya dominan sebagai standar kebenaran.
Dalam konteks Halmahera Tengah, pendidikan yang mengabaikan Fagogoru adalah bukti bahwa negara melalui kurikulum dan kebijakan secara sistematis menghapus identitas lokal dan menggantikannya dengan nilai-nilai luar yang tak berakar.
Sedangkan Anthony Giddens, asal inggris (1938) dalam gagasan refleksivitas modernitas, mengingatkan bahwa masyarakat modern harus terus merefleksikan ulang pilihan-pilihannya agar tidak terjebak dalam alienasi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Maka, menghidupkan kembali Fagogoru bukanlah tindakan romantis, melainkan bentuk refleksi kritis dan perlawanan terhadap keterasingan budaya yang meluas.
Namun pertanyaannya: di mana posisi DPRD Halmahera Tengah, Pemerintah Daerah khusus Tiga negri : Maba, Patani, Weda, dalam narasi Fagogoru ini? Alih-alih menjadikan Fagogoru sebagai fondasi pembangunan lokal, mereka lebih sering memanfaatkannya sebagai komoditas politik.
Dalam setiap musim pemilu, nama Fagogoru dikutip di spanduk, dilagukan dalam kampanye, ditarikan dalam pembukaan acara-acara seremonial.
Tetapi setelah kekuasaan diraih, nilai-nilainya ditinggalkan di panggung pertunjukan, tidak masuk ke dalam dokumen RPJMD, tidak menjadi roh dalam perda-perda pendidikan, tidak diterjemahkan ke dalam program revitalisasi budaya.
Pemerintah daerah bahkan sering terjebak dalam logika proyek. Pembangunan diukur dari berapa kilometer jalan dibangun atau berapa banyak investor ditarik masuk.
Padahal, di saat yang sama, hutan yang diwariskan leluhur dibongkar habis oleh industri ekstraktif. Laut yang menjadi tempat sakral dan ruang hidup bersama menjadi keruh oleh limbah tambang.
Dan lebih tragis lagi, ketika masyarakat adat berpegang pada prinsip Fagogoru untuk menolak eksploitasi yang melampaui batas, mereka justru dianggap menghambat kemajuan bahkan di penjarakan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Di sinilah letak penghianatan struktural itu. Pemerintah dan para wakil rakyat telah gagal merumuskan sebuah model pembangunan yang adil secara ekologis, bermartabat secara kultural, dan berjangka panjang secara sosial.
Mereka hanya pandai mengedit video budaya, mencetak poster dengan hiasan motif etnik, atau mengundang penari tradisional saat peresmian.
Tetapi di balik semua itu, mereka buta akan fakta bahwa budaya bukan pertunjukan ia adalah sistem nilai, cara hidup, dan pengetahuan yang seharusnya mengarahkan seluruh kebijakan publik.
Sudah saatnya kita mendesak perubahan radikal: pendidikan di negeri Fagogoru kususnya Halmahera Tengah harus meletakkan Fagogoru sebagai kerangka epistemologis utama.
Ia tidak boleh diajarkan sebagai mata pelajaran tambahan yang eksotik, tetapi sebagai lensa untuk memahami dunia dari ilmu alam hingga ilmu sosial.
Lalayon dan tarian lokal lainnya harus diajarkan bukan dalam bentuk poster atau museum statis, tapi melalui praktik langsung yang melibatkan komunitas.
Guru-guru perlu dilatih untuk memahami bahwa pengetahuan lokal bukan inferior, tetapi memiliki daya jawab atas tantangan zaman.
Baca Halaman Selanjutnya..
Fagogoru harus hidup kembali dalam kebijakan, dalam ruang kelas, dalam mekanisme dialog sosial, dalam pendekatan pembangunan.
Bukan dengan membonsainya ke dalam citra yang instan, melainkan dengan menumbuhkannya sebagai sistem nilai yang dinamis.
Kita membutuhkan pemerintah yang berani meletakkan identitas budaya sebagai poros perencanaan, bukan sebagai lampiran kosmetik di laporan kegiatan.
Jika tidak, maka Fagogoru akan terkubur lebih dalam bukan oleh waktu, tetapi oleh ketidakpedulian kolektif yang dipelihara oleh kekuasaan. Dan ketika suatu bangsa kehilangan sistem pengetahuannya, ia kehilangan jiwanya.
Maka jangan heran jika generasi mendatang tumbuh sebagai manusia-manusia yang tak punya kompas budaya, tak punya akar tempat berpijak, hanya menjadi buruh murah dalam sistem global yang terus menelan masa depan mereka.
Maka pertanyaan yang harus kita jawab sekarang bukanlah apakah Fagogoru bisa diselamatkan. Tapi apakah kita punya cukup keberanian untuk menolak pembangunan yang membunuh warisan pengetahuan kita sendiri.
Apakah kita bersedia menuntut DPRD dan Pemerintah Daerah agar berhenti menjadikan budaya sebagai alat kampanye, dan mulai menjadikannya sebagai sumber kebijakan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Masa depan Halmahera Tengah, dan Halmahera Timur bukan semata ditentukan oleh jumlah proyek investasi, tapi oleh keberanian kita menjaga jati diri dan Fagogoru adalah inti dari jati diri itu.
Para pemangku kekuasaan terutama bupati dan wakil rakyat di DPRD harusnya menyadari bahwa arah perubahan sejati tidak lahir dari jumlah proyek yang diresmikan, melainkan dari keberanian menjadikan budaya sebagai fondasi setiap kebijakan.
Mereka kerap berbicara soal kemajuan, tapi melupakan bahwa kemajuan tanpa akar budaya hanya akan melahirkan generasi yang rapuh berdiri di atas pembangunan fisik, tapi kehilangan makna hidup.
Kita saksikan bagaimana proyek-proyek infrastruktur terus digalakkan: jalan diaspal, jembatan dibangun, kantor-kantor megah berdiri. Namun sayangnya, semua itu dibangun tanpa menyentuh nilai-nilai leluhur.
Kearifan lokal yang seharusnya menjadi panduan, justru diabaikan seolah tak relevan. Akibatnya, pembangunan menjadi semacam bayangan semu nampak megah dari luar, tapi kosong dan tak membumi.
Bupati dan DPRD tidak bisa terus berpura-pura peduli budaya hanya saat kampanye. Mereka harus berhenti memperlakukan nilai-nilai lokal sebagai dekorasi politik.
Sudah waktunya kebijakan dibuat dengan menjadikan falsafah hidup masyarakat seperti Fagogoru sebagai pijakan utama, bukan sekadar pelengkap laporan kegiatan. Tanpa itu, mereka hanya menciptakan generasi yang tumbuh di atas tanah sendiri, namun asing terhadap jati dirinya. (*)