Oleh: Yadin Panzer
(Komite Pimpinan Pusat SAMURAI Maluku Utara)
Uraian tulisan ini didahului dengan sebuah pernyataan tentang pengandaian nilai yang sederhana, namun mendasari tulisan ini; “Manusia berhak hidup di dalam sebuah dunia yang mengandung makna. Menghormati hak, ini merupakan suatu keharusan moral bagi kebijaksanaan politik”. (Berger, 1976; 168).
***
Beberapa minggu yang lalu, tangisan itu kembali lagi terdengar, pada waktu berlangsung sebuah putusan praperadilan di ‘Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan’.
Tangisan itu pecah, saat putusan hakim yang dibacakan pada 16 Juni 2025. Sebuah putusan seolah menutup pintu harapan 11 warga Maba Sangadji, yang kini telah berstatus sebagai tersangka.
Tangisan itu melukiskan kenyataan dalam ingatan warga Maba Sangadji, tetapi tangisan juga mempunyai kekuatan menciptakan dan membentuk kenyataan.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 2 Juli 2025
Kenyataan bahwa kepentingan penguasa dan pemodal, mengandung bobot lebih besar, dari tangisan warga Maba Sangadji. Sebagaimana mereka memaksakan kuasa militer, politik, dan ekonomi mereka terhadap bagian besar negara.
Mereka pun memaksakan kuasa atas diri kita, merekalah yang memberi hak kepada orang lain, dalam sejenis yang disebut ‘Kebijaksanaan Politik’. Dan memang, yang lemah sering diberikan tangisan dibanding kebahagiaan dan ketenangan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Hak Adat dan Moral Pemimpin
Hak adat merupakan hak-hak yang diperoleh oleh komunitas adat, yang mencakup hak atas tanah, wilayah, serta sumber daya alam, di samping hak-hak tradisional lainnya yang diteruskan dari generasi ke generasi.
Hak-hak ini telah diakui dan dilindungi oleh negara, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Pengakuan ini juga diperkuat oleh berbagai peraturan hukum yang berkaitan, seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), serta peraturan di tingkat daerah.
Meskipun begitu, pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, masih menghadapi sejumlah rintangan, terutama terkait dengan pembangunan dan modernisasi.
Oleh sebab itu, sangat penting untuk terus meningkatkan usaha perlindungan hak-hak komunitas adat, baik melalui hukum yang berlaku, maupun melalui pelaksanaan yang nyata di lapangan.
Selanjutnya, apa saja fungsi dan tanggung jawab pemimpin terkait dengan norma moral, dan norma yang tidak bersifat moral?
Moral berkaitan dengan perilaku manusia sebagai individu, tetapi ini berhubungan dengan legitimasi moral seorang pemimpin, yang selalu terkait dengan kebijakan yang diambil. Dari keputusan yang diambil, sebenarnya kualitas moral pemimpin itu dapat dievaluasi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Pemahaman yang keliru mengenai peran dan fungsi, akan menyebabkan pemerintahan hanya berfungsi sebagai alat untuk melegitimasi pihak yang menyalahgunakannya.
Maka dari itu, perlu ada paradigma yang dapat digunakan untuk melihat dan menganalisis peran serta fungsi pemerintahan, agar kembali pada esensinya sebagai sistem yang mengarahkan dan menginterpretasikan kehidupan manusia, serta hubungan alam dan manusia di dalamnya.
Mungkin kita sudah bisa menilai dengan cermat, mengenai pemerintah yang telah mengabaikan dan tidak memperhatikan kepedihan yang dirasakan oleh masyarakat adat Maba Sangadji.
Seolah-olah mereka sepakat untuk membiarkan warganya terlantar. Dengan kata lain, mereka menyetujui agar rakyatnya terabaikan.
Hal ini terlihat jelas, ketika putusan praperadilan pada tanggal 16 Juni 2025, yang mencoreng nama 11 anggota masyarakat adat Maba Sangadji sebagai tersangka.
Dan sampai saat ini, baik Gubernur maupun Bupati Kabupaten Halmahera Timur belum memberikan solusi, padahal seharusnya sebagai pemimpin daerah, mereka bertanggung jawab untuk memastikan warganya hidup dalam keadaan aman dan sejahtera. “Apapun itu caranya”.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ilusi Kebijaksanaan Politik
Pembangunan adalah masalah buat mereka yang membuat kebijaksanaan politik umum dalam negara. Hanya tentu saja, jenis masalahnya akan bergantung pada negara macam apa, dan pembuat kebijaksanaan politik macam siapa yang terlibat.
Di negara ini, masalah ini mungkin sekali menampilkan dirinya dalam bentuk tekanan-tekanan yang mendesak, dan kadang-kadang membikin putus asa.
Para pembuat kebijaksanaan politik dan para pemilik modal, bersama-sama mebentuk elite yang berhadapan dengan masyarakat adat di dalam masyarakat.
Meskipun demikian, semua elite yang dibangun, baik yang sekarang berkuasa maupun yang baru mendambakan kekuasaan. Mempunyai kecenderungan yang sama kuatnya, untuk menganggap diri mereka unggul dalam persoalan memahami ke-masyarakat-an.
Bila dipandang dari segi teoritis maupun dari segi kebijaksanaan politik, kasus masyarakat adat Maba Sangadji dalam kaca mata Berger (1976, 120-123).
Ada dua persoalan yang besar, artinya dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial, dan juga penting bagi setiap orang yang ingin memahami suatu masalah atau situasi manusia.
Kedua persoalan itu adalah “etnosentrisme” dan “bebas nilai”, keduanya bersangkut paut dengan pembangunan, dan pengaruh modernisasi saat ini.
Baca Halaman Selanjutnya..
“Etnosentrisme” merupakan sebuah istilah mencemohkan, diciptakan pada tahun-tahun permulaan abad ke-20 (1906) oleh William Graham Sumner.
Yang bisa dibilang etnosentrisme ialah sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan ruang hidupnya, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kehidupan sosialnya. Kehidupan sosial yang mencakup_hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alamnya.
Dengan mempertimbangkan konsep “bebas nilai” maka hubungan-hubungan hakiki (intrinsik) antara teori, kebijaksanaan politik, dan moralitas mungkin dapat dijelaskan lebih lanjut.
Konsep ini diciptakan di Jerman oleh Marx Weber, kira-kira pada waktu yang bersamaan ketika Sumner mengajarkan kepada para mahasiswa Amerika untuk tidak menjadi “etnosentris”, dan dibelakang konsep itu terlihat maksud yang serupa.
Kedua konsep ini bila disangkutpautkan dengan persoalan logika pembangunan dewasa ini, yang selalu mengorbankan lingkungan.
Akhir-akhir ini, sebagian besar seperti melihat masyarakat adat Maba Sangadji berada dalam adegan tinju melawan bayangan.
Karena persoalannya adalah siapakah yang dilanyani secara politis oleh penguasa hari ini, dan siapakah yang menjadi penguasanya.
Dengan ini, bisa diartikan bahwa orang bisa mencita-citakan ilmu yang bebas nilai, tetapi kebijaksanaan politik yang bebas nilai adalah ilusi.
Dan pada akhirnya, setelah putusan praperadilan 16 Juni 2025, telah membuka mata kita bahwa alat yang digunakan untuk bertani dan bertahan hidup, kini bisa disulap menjadi alat bukti kriminal. (*)