Memaknai Perjuangan: Antara Gerakan Ekologis dan Gerakan Teologis

Bahkan lebih luas kepada masyarakat muslim yang masih memilih diam seribu bahasa dan seakan tutup mata bahwa problem kerusakan lingkungan bukan merupakan masalah teologis tetapi sekedar masalah ekologis yang hanya bisa dikomentari oleh environmentalis, atau aktivis lingkungan.
Padahal ajaran agama Islam yang bertumpu pada Quran dan Hadis. Sedikit banyaknya nilai-nilai itu telah diimplementasikan dalam budaya lokal, seperti halnya yang tampak dalam tradisi-tradisi masyarakat adat dari empat kesultanan Islam di Moluku Kie Raha.
Baca Juga: Kebangkitan Nasional: Antara Krisis Ekologi dan Perebutan Ruang
Namun, budaya lokal yang berbasis pada nilai-nilai agama nan kaya spiritualitasnya kerap diposisikan hanya sebatas pada pertunjukan seni dan peninggalan budaya masa lalu, tanpa ada reaktualisasi di era modern hari ini.
Inilah yang menyebabkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat kini seakan kehilangan makna dan nilai, sebab hanya ditempatkan sebagai sebuah aktivitas keseharian yang terlepas dengan nilai ibadah.
Hal itu juga tampak sama dengan perjuangan 11 masyarakat adat Maba Sangaji yang oleh sebagian orang menilai gerakan mempertahankan tanah itu tidak bermakna.
Baca Juga: Hilirisasi Nikel dan Luka Ekologis di Teluk Weda
Lebih parah lagi oleh pemerintah dan aparat keamanan menganggap gerakan ini adalah gerakan premanisme yang menganggu investasi perusakan lingkungan. Mereka tidak menyadari bahwa disamping alasan ekologis ada basis teologis yang mendasari perjuangan suci 11 pejuang tanah adat Maba Sangaji itu.
Dalam Quran pada banyak ayat telah didengungkan dengan jelas bahwa merusak lingkungan merupakan perbuatan yang dikecam oleh Allah SWT. diantaranya termaktub dalam Q.S al-Baqarah: 11, 12, 215, Q.S ar-Rum: 41, Q.S ali-Imran: 190-191.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar