“Julfikri Hasan: Mandat Rakyat atau Agenda Politik Elektoral Menuju 2029”

Namun, tantangannya terletak pada transformasi ke representasi substantif yakni tindakan dan kebijakan yang sungguh-sungguh berpihak kepada kepentingan masyarakat kepulauan.
Sementara itu, Max Weber (1947) membagi legitimasi kekuasaan ke dalam tiga bentuk: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Julfikri memperoleh legitimasi legal-rasional melalui prosedur demokratis.
Baca Juga: Demokrasi Nihil Oposisi : Otoritarianisme di Depan Mata
Apalagi, dalam praktik politik lokal, legitimasi itu harus terus diperkuat melalui kinerja konkret dan responsivitas terhadap rakyat (Beetham, 1991).
Basis suara kuat sebagai modal sosial-politik Dalam kerangka teori modal politik (Pierre Bourdieu, 1991), jumlah suara yang besar adalah bentuk capital yang bisa diinvestasikan untuk memperluas pengaruh dan membangun jaringan kekuasaan di internal DPRD maupun ke eksekutif.
Akuntabilitas dan Kinerja Nyata
Dalam perspektif akuntabilitas demokratis (Schedler, 1999), jabatan politik membutuhkan pertanggungjawaban terbuka kepada publik.
Tanpa mekanisme komunikasi yang aktif, laporan kinerja reguler, dan kehadiran fisik di tengah konstituen, legitimasi Julfikri bisa memudar dan hanya tinggal simbol representasi semu (symbolic representation) yang kosong dari substansi.
Selain itu, tekanan terhadap transparansi informasi (Norris, 2011) di era digital memaksa politisi untuk tidak hanya bekerja, tetapi juga terlihat bekerja.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar