Ukur Wakil Rakyat dari Suaranya

“Yang Ribut itu Bekerja, yang Diam itu Bahaya”

Sebaliknya, mereka yang memilih diam, anti terhadap ruang publik, dan tidak transparan, layak untuk dieliminasi dari kursi parlemen.

Dalam konteks good governance, dua prinsip yang tak bisa dinegosiasikan adalah transparansi dan akuntabilitas. Tanpa keterbukaan, publik tak akan mampu mengawasi.

Karena itu, kehadiran media sosial semestinya menjadi ruang penting bagi anggota dewan untuk menunjukkan kerja dan tanggung jawabnya secara terbuka.

Ini bukan hanya soal membangun citra, melainkan menyediakan saluran bagi masyarakat untuk menilai dan memberikan masukan secara langsung.

Aktivasi media sosial oleh anggota DPRD harus menjadi standar baru dalam era demokrasi digital, karena di situlah ruang pengawasan horizontal dari rakyat bisa tumbuh lebih kuat.

Akhirnya, demokrasi tidak bisa berjalan dengan perwakilan yang diam. Demokrasi butuh suara. Suara yang kritis, terbuka, dan berpihak kepada rakyat.

Ketika 45 orang dipilih untuk mewakili 1,37 juta suara, maka mereka tidak hanya mewakili hak-hak formal warga, tetapi juga menjadi benteng terakhir untuk mencegah konsolidasi kekuasaan eksekutif yang tidak terkontrol.

Jika DPRD ingin tetap dipercaya, maka satu-satunya jalan adalah menunjukkan siapa yang benar-benar bekerja dan siapa yang hanya duduk diam dalam kebisingan kekuasaan. Sebab dalam politik, diam bukan hanya bukan emas, tapi bisa jadi racun bagi demokrasi. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 16 Juni 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/06/senin-16-juni-2025.html

Selanjutnya 1 2 3

Komentar

Loading...