Site icon MalutPost.com

‘Gubernur Cena’

Hudan Irsyadi

Oleh: Hudan Irsyadi
(Pengajar di Program Studi Antropologi Sosial, FIB Unkhair)

“Kepemimpinan adalah tentang membuat orang lain lebih baik sebagai hasil dari kehadiranmu dan memastikan dampak itu bertahan selama kamu tidak ada.” (Sheryl Sandberg)

Judul tulisan ini terinspirasi dengan cerita teman di seberang pulau yang saban hari menceritakan dan mendiskusikan kepala daerahnya yang baru, sebut saja seorang gubernur. Dengan bangga dia menceritakan bahwa gubernurnya kali ini adalah seorang perempuan yang cantik jelita. Cantiknya berpendar.

Lain dari kategori perempuan cantik dikampungnya. Bahkan menurut dia jika disejajarkan mungkin berada pada derertan artis ibu kota semacam Lyodra Ginting dan Chelsea Islan.

Sungguh luar biasa, lantas saya pun menimpali dengan pertanyaan. Jika cuma bermodalkan cantik, maka perempuan dikampungku juga bisa demikian dan tidak kalah saing dengan artis ibu kota. Sayangnya mereka cuma beda nasib dan takdir.

Lebih lanjut, seorang kepala daerah yang berparas cantik tentu akan menjadi pusat perhatian publik dengan pelbagai macam tafsiran. Bisa baik, bisa juga buruk.

Jika tafsirannya itu baik maka akan meninggikan martabat, sedangkan jika tafsirannya buruk maka akan meruntuhkan martabatnya. Olehnya itu, memiliki seorang kepala daerah yang berparas cantik haruslah dibekali dengan kecerdasan.

Selanjutnya baru dibicarakan pada tingkat integritas dan attitude sebagai kriteria seorang pemimpin hebat. Jika hal demikian itu terdapat pada gubernurmu, maka alangkah beruntungnya kamu kawan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sedikit berbeda dengan pemimpin perempuan di daerahku, yang mana ia lebih suka mengonstruksi realitasnya melalui media.

Hal ini terlihat pada intensitas dibeberapa akun media sosialnya yang terkonfirmasi dengan tingkat akurasi dan durasi yang terjaga serta tertata secara baik.

Bagi saya, pemimpin ini bukan kaleng-kaleng. Namun setinggi-tingginya pohon tentu akan mendapatkan terpaan angin yang kencang.

Mendengar serta melihat aktivitas gubernur perempuan pertama di seberang pulau itu, saya menjadi penasaran dan mengikuti beberapa akun media sosialnya.

Hal demikian tak lain adalah ingin mengenal secara individu sebagai manusia dan secara struktural sebagai kepala daerah. Sebagai individu, sang gubernur ini sudah sangat mapan.

Berlatar belakang sebagai pengusaha dengan kekayaan yang mencapai miliyaran rupiah. Bahkan dalam laporan harta kekayaan pejabat negara, gubernur tersebut menduduki peringkat pertama sebagai gubernur dengan harga kekayaan tertinggi.

Kehidupan yang elitis selalu terepresentasi di akun media sosialnya. Baik itu bersama keluarga maupun teman. Intensitas postingan pun semakin gencar. Tak segan menggantung diberbagai platform media sosial.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sebagai kepala daerah, hal yang sama juga ia praktikkan. Aktif bermedia sosial. Bahkan caranya ini, diikuti oleh beberapa kepala OPD-nya. Memang ada banyak hal yang positif disitu. Namun disisi yang lain terkesan lebay.

Realitas inilah yang kemudian saya menyebut gubernur cena. Kata cena yang saya gunakan adalah untuk menggambarkan aspek kelokalan. Secara etimologi, kata cena merupakan pengadopsian dari Bahasa Portugis yang artinya ‘adegan’.

Selanjutnya artikulasi ini berkembang di tengah masyarakat kita dengan berbagai konotasi yang merujuk pada sikap orang yang berlebihan perihal tingkah laku, gaya bicara, ataupun penampilan.

Lebih populer lagi, mari kita amati sepak terjang gubernur cantik di pulau seberang. Apakah dia sedang mengonstruksi realitas media atau tidak?

Konstruksi Realitas Media

Pemilihan konstruksi realitas media ini sejatinya saya meminjam istilah konstruksi realitas sosial yang dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociology of Knowledge (1966) yang memiliki akar dari fenomenologi dan interaksi simbolik.

Menurut Berger dan Luckman, terdapat tiga bentuk realitas sosial yakni;
1). Realitas Sosial Eksternalisasi, adalah suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta;

2). Realitas Sosial Objektifikasi, adalah ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang umumnya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-berita di media; dan

Baca Halaman Selanjutnya..

3). Realitas Sosial Internalisasi, adalah realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Atau bisa disebut dengan bagaimana orang menyerap apa yang mereka lihat (ibid).

Dengan memperhatikan apa yang disampaikan Berger dan Luckmann, konstruksi realitas media merujuk pada proses di mana media – media sosial – tidak hanya melaporkan realitas, tetapi juga membentuk pemahaman publik melalui framing, seleksi, dan penekanan tertentu.

Di sini, jika mengacu pada gubernur perempuan itu maka apa yang terepresentasi secara sosial mendapat perhatian penuh media massa dalam melakukan proses pembingkaian (framing). Di mana, analisis framing bekerja tatkala terdapat fenomena sosial demikian.

Gubernur perempuan pertama ini seolah mendapat perhatian khusus dari media massa. Artinya konstruksi realitas media ini dapat memengaruhi bagaimana kinerjanya dipersepsikan oleh masyarakat. Apakah dia merupakan gubernur cena atau bukan.

Dalam konteks kajian budaya dan media, di mana media selalu memilih sudut pandang tertentu untuk menyajikan suatu isu. Semisal isu Pendidikan gratis, Dana Bagi Hasil (DBH) dan Renovasi Rumah Dinas dengan pekerjaan swakelola, dan seterusnya (isu-isu pemerintah provinsi).

Isu-isu ini kemudian dikonstruksi oleh media massa (media sosial), dan tak lupa pula sang gubernur perempuan ini pun turut serta memposting aktivitasnya itu.

Baca Halaman Selanjutnya..

Hal yang lazim di mana dia ingin memperlihatkan secara langsung kepada publik apa yang sedang dikerjakan oleh pemerintahannya, serta ia ingin membangun kepercayaan kepada publik dengan menunjukkan bukti nyata program yang dijalankan.

Dalam konteks ini, saya berharap publik harus kritis dengan membandingkan narasi di media sosial dengan kondisi riil di lapangan. Pada akhirnya, konstruksi realitas media akan membentuk opini publik, memperkuat ataukah melemahkan legitimasi.

Politik pencitraan ataukah kebijakan nyata. Semoga kita mejadi masyarakat yang tidak stecu (stelan cuek) dengan konstruksi realitas media yang dibangun oleh pemerintah kita. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 2 Juni 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/06/senin-2-juni-2025.html

Exit mobile version