Harapan Masyarakat Pesisir atas RPJMD Maluku Utara 2025-2029

Lebih parah lagi, akses pasar masih sangat sulit. Jarak tempuh dari lokasi tangkap ke pasar utama sangat jauh, membuat biaya logistik tinggi dan harga ikan menjadi mahal di pasar ikan hampir semua kabupaten/kota. Problem ini ironis terjadi di provinsi yang kerap dijuluki lumbung ikan nasional.
Sementara itu, industri hilirisasi nikel seperti PT IWIP dan PT Harita membuka peluang pasar besar bagi produk perikanan. Data 2023 mencatat, PT. IWIP membutuhkan hingga 150 ton ikan per bulan, tapi nelayan lokal hanya mampu memenuhi sekitar 40–50 persen. Sisanya harus didatangkan dari luar Maluku Utara.
Yang lebih memprihatinkan, nelayan tidak pernah menjadi penentu harga ikan di pasar. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak mengetahui berapa harga sesungguhnya ikan dijual di pasar akhir.
Mereka hanya menjual di titik pertama, kepada pengepul atau tengkulak, dengan posisi tawar yang sangat rendah. Artinya, nelayan hanya menjadi penyedia bahan mentah dalam rantai nilai yang panjang, tanpa kendali, tanpa informasi, dan tanpa kepastian kesejahteraan.
Karena itu, visi RPJMD 2025–2029 yang menekankan pengembangan sektor unggulan dan pemerataan pembangunan berbasis kepulauan akan kehilangan makna jika tidak memberi tempat utama bagi sektor perikanan.
Kita tidak bisa bicara ketahanan pangan, keunggulan wilayah dan keadilan antarwilayah jika masayarakat pesisir (nelayan skala kecil) terus tertinggal dan termarjinalkan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar