Di Balik Gelar “Doktor dan Profesor”

Di tengah maraknya doktor-doktor muda, kita menyaksikan kecanggihan intelektual yang belum berpadu dengan kearifan sikap. Mereka mungkin tangguh dalam riset, tetapi gamang saat berhadapan dengan konflik sosial atau dilema etis yang membutuhkan kedewasaan.
Kehilangan Literasi
Seorang kawan Profesor pernah berujar getir, saat menyaksikan perdebatan panjang yang tak berujung dalam sebuah ruang diskusi tentang fenomena pemilihan rektor di sebuah universitas: "Mereka kehilangan literasi bukan dalam arti sesungguhnya (tak bisa baca-tulis), tetapi literasi perasaan dan konteks. Mereka gagal membaca keadaan dan gagal menulis sikap yang arif."
Ungkapan itu terasa menampar. Di tengah riuhnya argumen dan klaim intelektual, justru tampak jelas betapa sebagian dari kita kehilangan kepekaan untuk membaca situasi secara utuh dan meresponsnya dengan bijak.
Sebuah ungkapan yang tajam, menggambarkan ketimpangan antara kecerdasan kognitif dan kedewasaan emosional. Kritik ini menyoroti jurang yang kian nyata antara kapasitas intelektual dan integritas batin.
Ilmu menjulang tinggi, tetapi akarnya tak tertanam jauh ke dalam tanah kebijaksanaan dan memutus saraf kerendahan hati.
Sebab literasi sejati bukan sekedar soal aksara, dan bukan semata tentang buku dan jurnal, melainkan tentang kemampuan memahami konteks, menangkap isyarat sosial, dan meresponsnya dengan empati serta tanggung jawab moral yang tinggi.
Tanpa semua itu, ilmu hanyalah senjata. Tajam, tetapi membahayakan, menyayat relasi sosial, mengikis nilai keakraban, dan mencederai keadaban.
Kematangan akademik tanpa kemapanan emosional melahirkan intelektual yang kaku, mudah defensif, dan sulit menjadi teladan. Sebaliknya, akademisi yang matang secara emosional tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus mendengarkan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar