Site icon MalutPost.com

Menagih Janji, Sula Bahagia

Oleh: Fahri Aufat
(Pegiat PILAS Institute)

Saat seorang kepala daerah terpilih kembali untuk periode kedua, ekspektasi dari masyarakat otomatis meningkat. Inilah posisi kita saat ini, di awal masa kedua kepemimpinan Bupati Kabupaten Kepulauan Sula. Lima tahun pertama telah dilalui, dan kini babak baru dimulai. Wajar jika masyarakat mulai bertanya, perubahan apa yang akan terjadi kali ini?

Di banyak tempat, periode kedua sering menjadi momentum untuk penyempurnaan. Janji-janji yang pernah disampaikan diuji kembali, dan komitmen terhadap rakyat seharusnya lebih nyata.

Bupati tidak lagi dapat mengandalkan alasan penyesuaian atau adaptasi, karena secara teknis dan politis, beliau sudah memahami peta persoalan di daerah ini. Waktu untuk membuktikan diri telah tiba sejak hari pertama periode kedua dimulai.

Seperti yang diungkapkan oleh Ryaas Rasyid dalam Good Governance: Teori dan Praktek di Indonesia (2006:), pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Tanpa itu, pemerintah akan terjebak dalam ketidakpercayaan rakyat. Artinya, di periode kedua ini, Bupati Kabbupaten Kepulauan Sula harus mampu menunjukkan kinerja yang lebih akuntabel dan tidak hanya mengandalkan alasan belaka.

Salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah infrastruktur dasar. Masalah jalan desa yang rusak, pemadaman listrik yang sering terjadi, dan akses antarwilayah yang terganggu saat banjir seharusnya tidak lagi menjadi masalah rutin.

Sayangnya, masih ada warga yang terpaksa menyebrangi sungai saat banjir, karena jembatan belum kunjung dibangun. Salah satunya terjadi di Desa Baleha, di mana setiap musim hujan, banjir memutus akses jalan utama, menghambat aktivitas masyarakat, dan menciptakan ketidaknyamanan yang berkepanjangan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sri Mulyani Indrawati dalam Menyeimbangkan Ekonomi Indonesia (2009:201), menegaskan bahwa keadilan sosial harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan pembangunan.

Pembangunan tidak boleh menguntungkan segelintir orang, tetapi harus memberikan manfaat kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan.

Kondisi infrastruktur yang buruk jelas menghalangi usaha untuk mencapai keadilan sosial yang selayaknya diterima oleh seluruh warga.

Eko Prasetyo dalam bukunya Ketahanan Sosial dalam Masyarakat Pembangunan (2010:112) mengatakan, Pembangunan infrastruktur yang baik adalah pondasi dari ketahanan sosial.

Tanpa akses yang memadai terhadap fasilitas dasar seperti transportasi, kesehatan, dan pendidikan, masyarakat tidak akan mampu berkembang secara optimal.

Pertanyaannya sederhana, Apakah lima tahun ke depan akan menjadi pengulangan dari lima tahun sebelumnya? Tentu kita tidak mengharapkan hal itu.

Kabupaten Kepulauan Sula memiliki banyak potensi. Kita memiliki kekayaan laut, keindahan alam, dan kekuatan budaya yang luar biasa. Namun, semua itu tidak akan berkembang jika infrastruktur minim, pelayanan publik terhenti, dan kebijakan tidak mendukung kebutuhan dasar rakyat.

Baca Halaman Selanjutnya..

Di periode kedua ini, kita memerlukan perubahan yang nyata dan terukur, bukan sekadar janji-janji manis. Jika periode pertama adalah waktu untuk belajar dan membangun pondasi, maka periode kedua harus menjadi panggung pembuktian. Retorika tidak lagi cukup.

Seperti yang ditulis oleh Amartya Sen dalam Pembangunan Manusia dan Kesejahteraan (2006), Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat, bukan yang dibangun berdasarkan asumsi atau idealisme.

Dengan kata lain, kebijakan yang diambil harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar pencapaian angka-angka statistik. Tanpa mendengarkan suara rakyat dan mengakomodasi kebutuhan mereka, kita tidak akan dapat menciptakan perubahan yang positif.

Slogan “Sula Bahagia” seharusnya menjadi sumber inspirasi, namun hal tersebut hanya dapat terwujud jika kita benar-benar berusaha mewujudkannya.

Kebahagiaan bukan sekadar sebuah kata, melainkan suatu kondisi sosial yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika kondisi ini belum tercapai, maka “bahagia” masih jauh dari kenyataan. Kita tidak sedang mengajukan tuntutan yang mustahil.

Justru, karena kecintaan kita terhadap daerah ini, kita berharap pemerintah daerah dapat memanfaatkan periode kedua ini bukan sekadar sebagai rutinitas, melainkan sebagai kesempatan terakhir untuk membuktikan bahwa janji-janji tersebut bukan sekadar alat kampanye belaka.

Menuntut realisasi janji bukanlah tindakan yang tidak menghargai, sebaliknya, hal ini merupakan bentuk partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses demokrasi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Seperti yang dinyatakan Robert Chambers dalam bukunya Pembangunan Berbasis Partisipasi (1997:57). Pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan adalah pembangunan yang rapuh. Tanpa partisipasi, kebijakan yang dihasilkan tidak akan memiliki landasan yang kuat dalam realitas.

Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan perencanaan kebijakan seharusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari prinsip pemerintahan yang baik. Akhir kata, semoga “Sula Bahagia” tidak hanya sekadar slogan.

Semoga visi ini benar-benar menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Sula, baik di pusat kota maupun di desa-desa yang selama ini hanya menjadi objek pidato.

Bukan menjadi prioritas utama dalam membangun demi terwujudnya ketahanan sosial yang kokoh, serta menuju masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Sula. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 14 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/rabu-14-mei-2025.html

Exit mobile version