Berbekal Takwa untuk Meraih Haji Mabrur

Kesucian itu menuntut bukan hanya para jamaah haji, tetapi seluruh umat Islam, untuk menjaga perilaku dan menghindari segala bentuk dosa. Meskipun waktu ibadah haji cukup panjang dua bulan sepuluh hari tidak semua amalan dapat dilakukan kapan saja.

Beberapa amalan, seperti wukuf di Arafah, thawaf, dan sa’i hanya sah bila dilakukan pada waktu dan tempat tertentu. Karena itu, waktu panjang ini dimaksudkan agar jamaah dapat memantapkan niat dan mempersiapkan diri secara jasmani dan rohani.

Bagi siapa pun yang telah berniat berhaji, ada tiga larangan penting yang harus dihindari:
1. Rafats - berkata kotor atau perkataan yang membangkitkan nafsu.
2. Fusuk - berbuat dosa atau maksiat, termasuk sombong dan melanggar norma.
3. Jidal - bertengkar atau berbantah-bantahan yang menimbulkan permusuhan.

Ketiga larangan ini tidak menentukan sah atau tidaknya ibadah haji, tetapi memengaruhi kualitasnya. Menjauhinya adalah bentuk komitmen untuk meraih predikat haji mabrur. Dan semua ini memerlukan kontrol diri yang kuat, terutama terhadap hawa nafsu.

Persiapan mental, ketulusan niat, dan pemahaman terhadap manasik haji menjadi sangat penting agar ibadah ini benar-benar menjadi penyempurna rukun Islam yang kelima.

Karena itu, sebagaimana ditegaskan dalam ayat tadi, sebaik-baik bekal adalah takwa, yang hanya dimiliki oleh mereka yang berakal (ulul albab) mereka yang memahami makna dan simbol ibadah secara mendalam.

Tidak heran jika muncul kritik terhadap fenomena meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia, namun tidak diiringi dengan peningkatan kualitas keberagamaan yang santun, ramah, demokratis, dan peduli. Bisa jadi, ini karena simbol-simbol haji belum sepenuhnya dipahami dan dihayati secara benar.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...