Oleh: Nadhir Wardhana Salama
(Direktur Eksekutif Beyond Health Indonesia/Ketua Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Se-Indonesia 2023-2024)
Belakangan ini kita sering menyaksikan pejabat publik baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan entengnya mengeluarkan pernyataan di hadapan publik yang tidak hanya menimbulkan kontroversi.
Tetapi juga terdengar lucu karena terkesan tidak didasari dengan substansi yang jelas dan basis data yang kuat, bahkan logika berpikir yang menggelitik.
Fenomena ini populer dikenal dengan perilaku pejabat “Yang Penting Ngomong” bukan “Ngomong yang penting”. Hal ini mencerminkan budaya komunikasi pejabat yang lebih mengutamakan pencitraan daripada substansi seolah-olah yang terpenting bukanlah kebenaran atau solusi yang ditawarkan.
Melainkan bagaimana pernyataan mereka dapat menarik perhatian publik. Akibatnya, banyak kebijakan yang diambil tanpa kajian mendalam, sekadar memenuhi ekspektasi politik atau kepentingan sesaat.
Jika dibiarkan, pola semacam ini tidak hanya merusak kredibilitas pemerintah, tetapi juga berpotensi menyesatkan masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang jauh dari kebutuhan nyata.
Fenomena ini semakin berbahaya ketika berpadu dengan budaya kebijakan “Asal Bapak Senang” (ABS), di mana keputusan yang diambil lebih bertujuan untuk menyenangkan atasan atau elite politik daripada benar-benar menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dalam sistem birokrasi yang feodal dan hierarkis, laporan-laporan sering dimanipulasi agar tampak sesuai harapan, sementara realitas di lapangan diabaikan.
Kebijakan yang lahir dari pola ABS cenderung tidak berbasis data dan riset, melainkan disusun untuk mempertahankan loyalitas dan kenyamanan di lingkaran kekuasaan.
Ketika pejabat yang gemar asal bicara bertemu dengan birokrasi yang menerapkan kebijakan ABS, hasilnya adalah tata kelola pemerintahan yang lemah, jauh dari prinsip good governance.
Masyarakat disuguhi narasi yang optimistis di media, sementara di dunia nyata, permasalahan fundamental seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan tidak mendapatkan solusi yang komprehensif.
Jika budaya ini terus dipertahankan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan semakin terkikis, dan kebijakan yang dihasilkan hanya menjadi dokumen indah tanpa dampak nyata bagi rakyat.
Dinamika Sosial dan Politik yang Memperburuk Fenomena Ini
Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan didorong oleh sejumlah faktor struktural dan budaya dalam birokrasi serta politik Indonesia.
Salah satu faktor utamanya adalah budaya feodalisme yang masih melekat kuat dalam tata kelola pemerintahan. Dalam sistem yang hierarkis, kritik sering kali dianggap sebagai bentuk pembangkangan, bukan sebagai masukan konstruktif untuk memperbaiki kebijakan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Hal ini menghambat budaya diskusi yang sehat di dalam birokrasi dan menyebabkan para pejabat cenderung dikelilingi oleh “yes-men” yang hanya menyampaikan informasi yang menyenangkan bagi mereka.
Selain itu, dinamika politik elektoral juga berperan dalam memperkuat budaya “Pejabat Asal Ngomong.” Dalam sistem politik yang sangat kompetitif, pejabat publik sering kali lebih fokus pada pencitraan dibandingkan pada efektivitas kebijakan.
Setiap pernyataan yang mereka keluarkan harus menarik perhatian media dan memberikan keuntungan elektoral, meskipun itu berarti mengorbankan akurasi informasi.
Akibatnya, banyak pejabat yang berbicara tanpa dasar data, sekadar untuk mendapatkan simpati publik atau mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih mendesak.
Faktor lainnya adalah lemahnya sistem evaluasi dan pengawasan terhadap kinerja pejabat publik. Dalam banyak kasus, tidak ada konsekuensi yang cukup signifikan bagi pejabat yang memberikan informasi yang menyesatkan atau membuat kebijakan berdasarkan laporan yang tidak akurat.
Tanpa mekanisme akuntabilitas yang ketat, kebiasaan memberikan informasi yang tidak jujur akan terus berlanjut dan menjadi bagian dari budaya birokrasi.
Implikasi Serius terhadap Kebijakan dan Masyarakat
Dampak dari fenomena ini sangat luas dan mendalam. Salah satu dampak paling nyata adalah kegagalan kebijakan publik yang berulang akibat informasi yang salah atau manipulatif.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ketika pejabat mengambil keputusan berdasarkan laporan yang telah disaring atau data yang direkayasa, kebijakan yang dihasilkan tidak akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Misalnya, dalam kebijakan kesehatan, data yang dilebih-lebihkan mengenai tingkat keberhasilan program tertentu dapat menyebabkan alokasi anggaran yang tidak tepat, sehingga program yang sebenarnya membutuhkan intervensi tambahan malah diabaikan.
Selain itu, fenomena ini juga memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika masyarakat berulang kali melihat pejabat mengeluarkan pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan atau kebijakan yang gagal memberikan solusi nyata, rasa skeptisisme terhadap institusi pemerintahan semakin meningkat.
Hal ini dapat berujung pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pengambilan kebijakan, yang pada akhirnya menghambat pembangunan demokrasi yang sehat.
Implikasi lainnya adalah memburuknya moralitas birokrasi. Ketika kebiasaan menyampaikan laporan yang tidak jujur menjadi norma, pegawai yang ingin bertindak jujur justru menghadapi tekanan untuk mengikuti pola yang sama.
Ini menciptakan lingkaran setan di mana kejujuran dan profesionalisme tidak dihargai, sementara kepatuhan terhadap kebohongan sistemik justru dianggap sebagai strategi yang lebih aman untuk menjaga posisi dan karier dalam birokrasi.
Mengubah Paradigma: Menuju Birokrasi yang Transparan dan Bertanggung Jawab
Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan reformasi mendalam dalam budaya birokrasi dan sistem politik di Indonesia. Salah satu langkah utama yang harus dilakukan adalah membangun sistem akuntabilitas yang kuat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Setiap kebijakan dan pernyataan pejabat publik harus didasarkan pada data yang transparan dan dapat diverifikasi. Lembaga pengawas independen perlu diperkuat untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan oleh pejabat publik dapat diuji kebenarannya.
Selain itu, birokrasi harus didorong untuk menerapkan budaya kerja yang lebih terbuka terhadap kritik dan masukan. Para pemimpin di instansi pemerintahan harus menciptakan lingkungan yang mendorong diskusi terbuka dan memberikan perlindungan bagi bawahan yang berani menyampaikan fakta.
Meskipun itu tidak menyenangkan bagi atasan. Membangun sistem insentif yang menghargai kejujuran dan profesionalisme, serta menindak tegas pejabat yang menyebarkan informasi menyesatkan, juga menjadi langkah penting dalam reformasi birokrasi.
Dalam ranah politik, masyarakat juga perlu mengambil peran yang lebih aktif dalam mengawasi pernyataan dan kebijakan pejabat publik.
Media dan organisasi masyarakat sipil harus terus mengkritisi dan memverifikasi klaim yang dibuat oleh pejabat agar tidak ada ruang bagi mereka untuk berbicara tanpa dasar yang jelas.
Dengan demikian, tekanan publik dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong pejabat agar lebih bertanggung jawab dalam setiap pernyataan dan kebijakan yang mereka buat.
Fenomena “Pejabat Asal Ngomong” dan kebijakan “Asal Bapak Senang” adalah masalah serius yang telah lama mengakar dalam birokrasi dan politik Indonesia. Namun, bukan berarti fenomena ini tidak bisa diubah.
Dengan komitmen kuat dari pemerintah, birokrasi, dan masyarakat, kita bisa membangun sistem pemerintahan yang lebih jujur, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik, bukan sekadar untuk menyenangkan atasan atau menjaga citra politik semata. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 20 Maret 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/03/kamis-20-maret-2025.html