Oleh: Dealfrit Kaerasa
(Staf LBH Marimoi)
Pada masa sebelum kedatangan pemerintah Belanda di Indonesia suatu hukum kebiasaan telah ada dalam dunia kerajaan nusantara dulu.
Di mana pada saat itu hukum kebiasaan itu menjelma menjadi hukum adat atau lebih dikenal dengan nama hukum pidana adat yang mengatur kehidupan setiap rakyat yang berada pada suatu kerajaan tertentu.
Sebagaimana dapat kita ketahui contohnya: terdapat beberapa hukum pidana adat yang pernah ada dan berlaku di beberapa wilayah hukum kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Antara lain: Ciwasana atau Purwadhigama pada abad ke10 di masa Raja Dharmawangsa; Kitab Gajamada pada pertengahan abad ke -14, yang diberi nama oleh Mahapatih Majapahit Gajahmada;
Kitab Simbur Cahaya yang dipakai pada masa pemerintahan Ratu Senuhun Seding di Palembang; Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung yang digunakan pada awal abad 16; Kitab Lontara ’ade’ yang berlaku di Sulawesi Selatan sampai akhir abad 19;
Patik Dohot Uhum ni Halak Batak di Tanah Batak; dan Awig-awig di Bali. Kitab-kitab tersebut hanya sebagian dari hukum pidana yang pernah berlaku di wilayah Nusantara.
Dari sebagian hukum pidana adat yang berlaku dijaman itu hingga sekarang tentunya proses penerapan sanksi dan hukumannya berbeda-beda antara satu dan lainnya. Baik itu sebagai penderitaan atau sanksi sosial lainnya yang diberikan oleh pihak kerajaan atau yang berwenang.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sebagai contoh sanksi Hukum adat Awig-awig Bali tercantum dalam SK Provinsi Bali No. 3 tahun 2003. Awig-awig yang dianut Desa Pakraman Bali meliputi beberapa hal seperti:
Mengaksama (memaafkan), Dedosaan (denda finansial), Kerampang (penilaian harta), Kasepekang (tidak berbicara) untuk jangka waktu tertentu, Kaselong (diusir dari desanya), Upacara Prayascita (upacara pembersihan desa)
Terlepas dari sejarah singgkat terkait hukum pidana adat yang telah berlaku sejak dulu hingga sekarang, secara sederhana pidana atau pemidanaan didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat atas perbuatan-perbuatan yang menurut aturan hukum pidana adalah perbuatan yang dilarang.
Oleh karena itu, setiap perbuatan pidana harus mencantumkan dengan tegas perbuatan yang dilarang dan sanksi pidana yang tegas bilamana perbuatan tersebut dilanggar.
Wujud penderitaan berupa pidana atau hukuman yang dijatuhkan oleh negara diatur dan ditetapkan secara rinci, termasuk bagaimana menjatuhkan sanksi pidana tersebut dan cara melaksanakannya.
Hukum pidana merupakan semua dari peraturan yang menentukan perbuatan hal yang dilarang serta hal yang masuk dalam tindakan pidana, dan menentukan hukuman apa yang dapat di jatuhkan kepada yang melakukannya.
Sebelum kita membahas terkait restorativ justice, konsep peradilan pidana Indonesia menurut saya masih jauh dari rasa keadilan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat seiring dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum.
Didasarkan pada pendekatan hukum dan ketertiban yang sangat menggantungkan keberhasilan penanggulangan kejahtan pada efektivitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian atau lembaga penegak hukum lainnya.
Dalam hubungan ini pihak kepolisian ternyata menghadapi berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun prosedur legal dan kemudian kendala ini tidak memberikan hasil yang optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkan terjadi sebaliknya.
Didalam pelaksanaan peradilan pidana, ada suatu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana itu. Istilah itu adalah “due process law”, yang dalam bahasa Indonesia dapat kita terjemahkan “proses hukum yang adil atau layak”.
Lawan dari proses ini adalah “arbitrary process” atau “proses yang sewenang-wenang atau berdasarkan semata-mata kuasa penegak hukum”.
Sistem Peradilan Pidana yang digariskan KUHAP Tahun 1981 merupakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang diletakkan di atas prinsip “diferensiasi fungsional” antara aparat atau lembaga penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang.
Aktivitas pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari: Legislator, Polisi, Jaksa, Pengadilan Penjara, Badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Setelah berlakunya KUHAP Tahun 1981 maka mekanisme penyelesaian perkara pidana di Indonesia yang semula didasarkan pada Het Herzienne Inlandsch Reglement (HIR) Stbld.
Tahun 1941 N0.44 telah dicabut. KUHAP Tahun 1981 memuat sepuluh asas penting dalam penyelenggaraan peradilan pidana yaitu:
1. Perlakuan yang sama di muka umum,
2. Praduga tidak bersalah,
3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi,
4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum,
5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan,
6. Peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan sederhana,
7. Peradilan yang terbuka untuk umum,
8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis),
9. Hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya,
10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan bahwa KUHAP menganut due process of law (proses hukum yang adil atau layak).
Suatu proses hukum yang adil pada intinya adalah hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dalam mengartikan teori keadilan, Plato sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial.
Setiap warga Negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya. Dari sini terkesan pemahaman bahwa, keadilan dalam konsep Plato sangat terkait dengan peran dan fungsi individu dalam masyarakat.
Sementara itu Soekanto menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil.
Pertama, Naminem Laedere, yakni “jangan merugikan orang lain”, secara luas azas ini berarti ” Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya”.
Kedua, Suum Cuique Tribuere, yakni “bertindaklah sebanding”. Secara luas azas ini berarti “Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya”. Azas pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup.
Sedangkan azas kedua merupakan azas equity yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.
Perbuatan adil, tidak hanya merupakan idaman manusia, tetapi juga diperintah Tuhan apapun agamanya. Bila suatu negara terutama pemerintah, pejabat publik dan aparat penegak hukumnya mampu memperlakukan warganya dengan “adil” dalam segala bidang.
Baca Halaman Selanjutnya..
Niscaya kepedulian (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsbility) warga negara dalam rangka membangun negara serta memperkukuh persatuan dan kesatuan dapat terwujud.
Keadilan pada umumnya relatif dan kadang sulit diperoleh. Untuk memperoleh keadilan biasanya diperlukan pihak ketiga sebagai penegak, dengan harapan pihak tersebut dapat bertindak adil terhadap pokok-pokok yang berselisih.
Oleh karena itu pihak ketiga tersebut harus netral, tidak boleh menguntungkan salah satu pihak. Jadi adanya pihak ketiga dalam rangka menghindari konfrontatif antara yang sedang berselisih.
Kebebasan peradilan adalah merupakan esensi daripada suatu negara hukum, oleh karena tegaknya prinsip-prinsip daripada suatu negara hukum sebagian besar adalah tergantung dari ada atau tidaknya kebebasan peradilan didalam negara tersebut.
Kekecewaan terhadap proses peradilan formal yang biasanya lambat, memakan biaya sampai kepada alasan krisis keprcayaan terhadap penegak hukum menjadi alasan yang rasional.
Selain itu kelemahan sistem hukum di Indonesia sudah diketahui secara luas diantaranya, tidak independen, korupsi, rendahnya pengembangan sumber daya aparat, managemen yang lemah dan rendahnya tingkat akuntabilitas.
Sejak presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan istilah out of court settlement (penyelesaian diluar pemgadilan) untuk kasus Bibit S. Rianto-Chandra M. Hamzah, istilah itupun menjadi popular. Rakyat juga mendapat pelajaran baru bahwa penyelesaian perkara dapat juga dilakukan diluar pengadilan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Apa yang terjadi saat ini didalam sistem hukum di indonesia? Nampaknya, ada kesenjangan antara pemenuhan keadilan dengan kebiasaan sistem peradilan pidana kita yang bersifat “menjatuhkan hukuman” semata.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak jarang dilakuakan guna mecapai suatu standar keadilan yang diamini oleh pelaku dan korban.
Penyelesian sengketa diluar pengadilan tersebut tidak dilarang oleh undang-undang. Hukum bisa bekerja sesuai dengan fungsinya jika masyarakat patuh dan tunduk terhadap hukum yang berlaku.
Hal ini bukan berarti penyelesaian sengketa diluar institusi hukum tidak dibenarkan. Konstitusi sendiri mengakui hal tersebut, yakni dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Bahkan dalam KUHP baru atau UU No 1 Tahun 2023 yang akan berlaku di tahun 2026 nanti, dalam pasal 2 ayat 1 sudah diatur bahwa ketentuan hukum yang ada tidak mengurangi keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Ini berarti hukum adat atau kebiasaan masyarakat masih bisa berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar negara dan hak asasi manusia. Dan terkait dengan ketentuan itu mengenai tatacara penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Pereturan Pemerintah.
Konsep Restoratif Justice di Indonesia
Dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (2014) karya Eddy O.S. Hiariej setidaknya tercatat lima pola implementasi sistem peradilan pidana yang diklaim berpedoman pada keadilan restoratif.
Baca Halaman Selanjutnya..
Pendekatan pertama, court-based restitutive and reparative measures. Konsep ini diusung para pendukung “civilization thesis” di Inggris melalui tuntutan ganti kerugian oleh pelaku sebagai bentuk reparasi terhadap korban.
Pendekatan kedua, victim-offender mediation programmes. Pendekatan yang dipengaruhi Gerakan Christian Mennonite (Christian Mennonite Movement) menitikberatkan nilai rekonsiliasi antara korban dan pelaku.
Pendekatan ketiga, restorative conferencing initiatives. Pendekatan yang menekankan konferensi sebagai sarana penyelesaian pidana yang terdiri dari dua model, yakni family group conference dan police-led community conferencing.
Pendekatan keempat, community reparation boards and citizens panel. Pendekatan ini menggunakan mekanisme panel antara warga dan dewan masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana sebagaimana konsep children hearing system di Skotlandia.
Pendekatan kelima, healing and sentencing circles. Pendekatan yang popular bagi warga asli Kanada ini mengikutsertakan para pihak yang umumnya terlibat dalam pengadilan tradisional ke dalam ruang persidangan konvensional.
Bagi Plato hukuman atas kejahatan harus diberlakukan, tetapi haruslah seimbang dengan tingkat kesalahan yang dilakukan, bukan semata berdasarkan keparahan perbuatannya.
Misalnya, jika seseorang mencuri makanan untuk memberi makan keluarganya yang kelaparan, hukumannya seharusnya lebih ringan dibandingkan dengan seseorang yang mencuri untuk keuntungan pribadi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Di sisi lain, Aristoteles mengajukan pandangan bahwa hukuman dan respons terhadap kejahatan harus dijadikan peluang untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.
Baginya, hukuman haruslah cukup keras sehingga memberikan peringatan kepada masyarakat agar tidak tergoda untuk melakukan tindakan yang sama, sambil juga memberikan kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk merenungkan perbuatannya dan menghindari melakukan kesalahan serupa dimasa mendatang.
Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan.
Setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).
Keadilan restoratif justice adalah merupakan pendekatan dalam penyelesaian satu perkara pidana melalui keterlibatan banyak pihak, seperti pihak pelaku atau keluarganya, korban atau keluarganya dan kelompok masyarakat terkait.
Dengan demikian keadilan restoratif memiliki tujuan baik yang ingin dicapai bagi korban tindak pidana, bukan semata-mata bertumpu pada kebaikan, dan kepentingan pelaku tindak pidana semata, karena keadilan restoratif, bersumber dari akar nilai yang diusung oleh nilai nilai tradisional dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, syarat dalam melakukan restorative justice, yaitu; tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan, kerugian dibawah 2,5 juta adanya kesepakatan antara pelaku dan korban.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan yang terakhir adalah tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana korban.
Selain itu juga ada Peraturan Kepolisian (Perpol) No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Surat Keputusan Dirjen Badilum MA No.1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum.
Restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan, dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan.
Namun tata pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum dilakukan secara optimal. Secara konseptual dan prakteknya.
Secara sederhan keadilan restoratif menempatkan perhatian pada memperbaiki dampak sosial, emosional dan material, dari satu peristiwa pidana, baik itu kejahatan maupun pelangaran, serta memperkuat ikatan sosial dan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat.
Studi empiris telah menunjukan bahwa keadilan restoratif dapat menghasilkan hasil yang postitif dalam penanganan kasus pidana.
Misalnya proses mediasi dapat membantu korban mendapatkan pemulihan dan pemahaman atas kejadian yang sudah terjadi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sementara pelaku dapat melaksanakan akuntabilitasnya dan tindakannya serta memperbaiki hubungan dengan korban dan masyarakat.
Selain itu juga keadailan restoratif telah terbukti mengurangi tingkat kriminalitas berulang dan memperkuat ikatan sosial, diantara anggota komonitas.
Meskipun memiliki potensi yang besar, implementasi keadilan restoratif tidaklah tanpa tantangan. Salah satu tantangan utama adalah memastikan partisipasi yang suka rela dari semua pihak yang terlibat, termasuk korban, pelaku dan masyarakat.
Selain itu juga ada kekhawatiran terkait dengan keadialn dan kemananan dalam proses restoratif, serta tantanga logistik dan administratif dalam mengorganisir dan menyelengarakan program-program keadilan restoratif.
Walaupun masih ada tantanga dalam implementasinya, penting bagi sistem hukum untuk terus mengintegrasikan prinsip-prinsip serta konsep keadilan restoratif sebagai bagian dari upaya mereka untuk mendapat keadilan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 18 Maret 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/03/selasa-18-maret-2025.html