Kritik Gagasan Mansour Fakih atas Gender dan Transformasi Sosial

Pertama, sedari awal konstruksi sosial yang menganggap Perempuan itu lemah, emosional dan laki-laki kuat serta perkasa telah mempengaruhi pikiran kita. Karena itu, tubuh Perempuan dan laki-laki dengan sendirinya telah dipandang sebagai simbol, bahwa yang kuat adalah laki-laki, sementara Perempuan adalah lemah. Maka tidak bisa perpanjang model berpikir yang demikian tanpa merombak simbol atau tanda yang telah ditetapkan dalam konstruksi sosial. Lalu apa akibatnya? Kita akan berakhir seperti yang ditanggapi oleh Fakih, bahwa ada laki-laki yang memiliki sifat keibuan. Artinya, sifat keibuan adalah konstruksi sosial yang dilekatkan pada Perempuan sebagai simbol. Dari sini terlihat kelemahan Fakih dalam upaya untuk menciptakan sintesa atas tesa dan antitesa yang mempengaruhi diskursus gender dikalangan pemikir atau intelektual mahasiswa abad ke 21.
Tidak hanya itu, walaupun ke-ibu-an tidak disebutkan Fakih dalam bukunya, ia tetap berakhir pada pikiran yang konstruksi. Disini penulis akan mengabstraksikan akibatnya; Feminin dan Maskulin, dua kata ini menunjukan ada peran aktif dari Perempuan maupun laki-laki. Feminin lebih di lekatkan pada Perempuan, sementara maskulin lebih ke laki-laki. Jika kita mengatakan bahwa tidak semua Perempuan itu feminin dan tidak semua laki-laki itu maskulin, karena pasti sebagian laki-laki yang feminin dan sebagian Perempuan adalah maskulin, hal itu tidak menunjukan bahwa kita berhasil keluar dari narasi yang melekatkan ke dua kata di atas. Justru, kita secara tidak sadar memperkuat konstruksi bahwa feminine itu Perempuan dan maskulin itu laki-laki dengan narasi yang berbeda.
Kedua, untuk mendekati problem konstruksi dalam pengertian yang lebih dalam, harus ada upaya untuk merombak struktur berpikir konstruksi sebagai konstruksi sosial dengan menggunakan teori Dekontruksi Jacques Derrida. Dekonstruksi sebagai metodologi filosofis untuk meneranghkan hubungan antara teks dan makna. Selain itu, Derrida menggunakan teori tersebut sebagai upaya untuk keluar dari hal-hal yang sifatnya konvensional maupun yang absolut. Tetapi dalam konteks lenguistik, dekonstruksi digunakan dalam rangka membongkar makna dalam teks untuk melahirkan makna baru. Latar belakang pemikiran Derrida mengenai Dekonstruksi berawal dari pengaruh gagasan Lenguistik dari Sausure dan didukung Fenomenologi Husserl dan Heiddeger. Hemat penulis, jika ketidakadilan gender lahir akibat konstruksi, maka dekonstruksi menjadi sarana untuk menelaah teks dan konteks yang berkaitan dengan problem tersebut. Simbol-simbol yang telah ditetapkan dalam konstruksi sosial dapat dirubah secara paradigmatik, bahwa Perempuan dan laki-laki tidak berada dalam perbedaan gender sebagaimana diskursus gender itu dimulai dari konstruksi sosial.
Dari sini, kita bisa keluar dari normalisasi teks Gender dan Konstruksi sosial dengan menggunakan kemampuan mengabstraksikan dari makna yang bermasalah di teks tersebut. Derrida yang merupakan filsuf Prancis kelahiran Aljazair menerangkan bahwa teks selalu ada ketidakpastian dan kekompleksitas yang pasti untuk mengarah pada proses interprestasi terbuka. Terdapat pemahaman yang berbeda dalam satu materi, sehingga pembaca dapat dengan bebas menginterpretasikan-nya. Selain itu, dalam beberapa diskursus tentang gender justru bagi penulis tidak dapat menjawab apa yang seharusnya diperjuangkan oleh Perempuan. Namun kita akan menemukan itu jika wacana-nya digiring ke diskursus mengenai feminisme. Sebab feminis sendirilah yang akan membahas bagaimana seharusnya perjuangan Perempuan dalam menuntut hak-hak secara politik-nya dilingkungan sosial maupun negara.*
Komentar