Site icon MalutPost.com

Gratifikasi: Budaya yang Dikriminalisasi

Oleh: Faisal Akbar Gailea
(PNS di Instansi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula)

Pada dasarnya masyarakat sangat mengecam tindakan korupsi namun dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat seolah membenarkan perilaku korupsi.

Kebiasaan masyarakat memberikan hadiah berupa benda yang memiliki nilai ekonomis merupakan bentuk penghargaan kepada orang lain secara budaya namun juga dapat dianggap sebagai gratifikasi yang dilarang.

Sedangkan dalam menjalankan fungsi Pemerintah sebagai organ negara, Pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip equity yang artinya tidak ada diskriminasi dalam menjalankan fungsinya.

Kebiasaan gratifikasi yang dalam praktiknya sering menggunakan uang terima kasih menyebabkan terjadinya konflik kepentingan bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Konflik kepentingan akan menuntun pegawai negeri/penyelenggara negara berlaku diskrimintaif dalam menjalankan fungsi Pemerintah sebagai eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pengaturan terkait gratifikasi sebenarnya sejak tahun 2001 telah diperkenalkan dalam aturan tindak pidana korupsi Indonesia namun istilah gratifikasi masih asing di telinga masyarakat bahkan pegawai negeri dan penyelenggara negara.

Gratifikasi yang dalam pengertian netralnya bahkan sama dengan budaya balas budi dan menanam budi menyebabkan masyarakat bahkan pegawai negeri atau penyelenggara negara menganggap perbuatan gratifikasi bukan merupakan suatu pelanggaran.

Baca Halaman Selanjutnya..

Mengenal Gratifikasi

Pengaturan mengenai gratifikasi merupakan suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Istilah gratifikasi pertama kali digunakan.

Dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.

Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Mengacu pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, definisi gratifikasi sebenarnya bermakna sebagai pemberian yang bersifat netral selama pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Dikutip dari Buku Pedoman Pengendalian Gratifikasi yang diterbitkan oleh KPK (2015), “Suatu pemberian menjadi gratifikasi yang dianggap suap jika terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima”.

Baca Halaman Selanjutnya..

Walaupun gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan atau bententangan dengan kewajiban atau tugas penerima dapat dianggap sebagai suap, namun gratifikasi dan suap adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan antara gratifikasi dan suap terletak pada ada atau tidaknya kesepakatan.

Menurut Prof. Dr. Eddy Omar Syarif, SH., MH., (2014) Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dalam wawancaranya mengungkapkan, “perbedaan gratifikasi dan suap terletak pada ada atau tidak meeting of mind pada saat penerimaan.

Pada tindak pidana suap, terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima. Meeting of mind merupakan nama lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional”.

Dari pengertian gratifikasi sebagaimana diuraikan diatas, menurut hemat penulis gratifikasi merupakan pemberian yang memiliki nilai ekonomis dari seseorang kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai balas budi atau sebagai tanda terima kasih atas perbuatan yang dilakukan atau tidak dilakukan.

Yang menguntungkan si pemberi hadiah maupun pemberian secara cuma-cuma kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara selama pemberian tersebut memiliki hubungan dengan jabatan penerima dan latar belakang pemberi hadiah.

Sedangkan suap, merupakan pemberian dengan maksud untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang menguntungkan si pemberi hadiah dan pemberian diberikan sebelum perbuatan dilakukan oleh penerima.

Baca Halaman Selanjutnya..

Aspek Budaya dan Persepsi Gratifikasi

Budaya secara umum dapat didefinisikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Budaya dapat terbentuk dari banyak unsur yang rumit, kompleks, abstrak, dan luas, yang termasuk di dalamnya antara lain agama, kepercayaan, politik, pemerintahan, bahasa, adat istiadat, pakaian, bangunan, karya seni, kebiasaan, dan lain-lain.

Nilai budaya menjadi acuan tingkah laku sebagian besar anggota masyarakat sebagai hasil belajar sejak masa kanak-kanak sampai dewasa.

Menurut Tigana Barkah Maradona (2020), “berbagai suku bangsa memiliki dan mengamalkan nilai-nilai seperti gotong royong, musyawarah, setia kawan, harga diri, dan sebagainya yang tercermin dalam berbagai kebudayaan sebagai hasil proses pembelajaran”.

Salah satu budaya yang diwariskan secara turun temurun pada masyarakat Indonesia dan menjadi keistimewaan masyarakat Indonesia dibandingkan dengan bangsa lain yaitu budaya balas budi.

Prinsip balas budi yang ditanamkan oleh nenek moyang bertujuan untuk berbuat baik atau sebagai bentuk nyata dari ungkapan terima kasih atas suatu perbuatan yang dilakukan atau tidak dilakukan. Selain sebagai ungkapan terima kasih, budi juga dapat ditanam oleh seseorang atau dikenal dengan prinsip menanam budi.

Menanam budi dilakukan bertujuan baik dan ditujukan oleh si penanam budi kepada seseorang yang dianggap patut dan layak untuk menerima. Dalam menanam budi, pemberian dapat berupa benda, tenaga, sopan-santun, tegur-sapa, kunjungi-mengunjungi, pinjam-meminjam.

Baca Halaman Selanjutnya..

Umumnya dalam prinsip balas budi atau menanam budi, pemberian yang sering dijumpai adalah berupa benda. Benda yang diberikan berupa makanan, buah-buahan, hasil bumi, hasil laut atau sesuatu yang memiliki nilai ekonomis.

Pemberian tersebut pun memperhatikan kualitas dan kelayakannya bertujuan agar pemberian benda tersebut baik dalam bentuk, rasa, dan rupa benda dalam keadaan baik (Tigana Barkah Maradona, 2020).

Pepatah Melayu mengatakan nilai budaya seperti prinsip menanam budi dan prinsip membalas budi merupakan bagian dari nilai-nilai kearifan lokal budaya di Indonesia. Nilai budaya ini pulalah yang melahirkan sistem nilai tenggang rasa dan gotong-royong.

Implementasi dari ucapan “terima kasih” yang diberikan kepada seseorang yang patut dan layak yang dinilai bermanfaat bagi penerima sebagai bentuk balas budi atau menanam budi merupakan keagungan dari nilai budaya masyarakat Indonesia.

Namun, jika terima kasih berupa pemberian diimplementasikan pada lingkungan kerja pemerintahan atau diberikan kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara maka pemberian tersebut dapat dikategorikan sebagai modus operandi praktek gratifikasi dan memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

Senada dengan itu, dikutip dari Buku Pedoman Pengendalian Gratifikasi (2015), Kastorius Sinaga (2009) memberikan perspektif sosiologis mengenai gratifikasi yang mengungkapkan bahwa “konsepsi gratifikasi bersifat luas dan elementer di dalam kehidupan kemasyarakatan.

Jika memberi dan menerima hadiah ditempatkan dalam konteks hubungan sosial maka praktek tersebut bersifat netral. Akan tetapi, jika terdapat hubungan kekuasaan, makna gratifikasi menjadi tidak netral lagi”.

Baca Halaman Selanjutnya..

Dalam jurnal penelitiannya yang berjudul Gratifikasi dan Pelayanan Sipil: Suatu Fenomena Sosial Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Ruyadi dkk (2016) menemukan bahwa, kebiasaan masyarakat memberikan uang ucapan terima kasih pada pelayanan sipil ini justru dianggap hal yang lumrah oleh masyarakat.

Masyarakat menganggap bahwa asalkan pemberian tersebut tidak bertujuan untuk mempercepat proses pelayanan atau sebagai uang pelicin dan diberikan dengan tulus dan ikhlas maka bukanlah sebuah penyimpangan sosial.

Dari sudut pandang agama pun, memberikan uang ucapan terima kasih dianggap sebagai perbuatan yang baik dan bisa bertujuan untuk menjalin silahturahmi diantara manusia.

Selain itu juga ada sebuah pepatah mengatakan bahwa “tangan di atas lebih baik dibanding dengan tangan di bawah” juga “jangan menolak rezeki” menjadi landasan masyarakat dan pegawai negeri/penyelenggara negara dalam perilaku gratifikasi ini khususnya memberikan uang ucapan terima kasih.

Terdapat empat persepsi utama di masyarakat terkait dengan gratifikasi berupa pemberian hadiah atau uang ucapan terima kasih.

Pertama, berkaitan dengan budaya balas budi, telah terbangun persepsi di masyarakat bahwa memang sudah seharusnya memberikan uang ucapan terima kasih apabila sudah dibantu dan akan merasa malu dan sungan untuk pergi jika tidak memberikan uang ucapan terima kasih.

Kedua, timbulnya empati dan belas kasih masyarakat yang telah dibantu dan dilayani dengan baik kepada petugas dan memberikan uang ucapan terima kasih sebagai bagian dari melaksanakan ibadah sedekah.

Baca Halaman Selanjutnya..

Ketiga, pengalaman pribadi sebagian masyarakat yang tersebar di kalangan sosial bahwa apabila tidak memberikan uang ucapan terima kasih maka pelayanan akan sulit dan berbelit-belit.

Keempat, adanya kepentingan tersamar pada sebagian masyarakat dengan tujuan bahwa jika memberikan uang terima kasih maka urusan-urusan kedepannya pun akan dibantu oleh petugas yang bersangkutan dan hal ini juga berkaitan dengan budaya menanam budi.

Kesimpulan

Gratifikasi secara pengertian sebenarnya bersifat netral dan merupakan bagian dari budaya balas budi atau menanam budi yang diwariskan secara turun temurun dan merupakan bagian dari kearifan lokal di seluruh budaya lokal Indonesia.

Selama implementasinya tidak dilakukan pada lingkungan Pemerintahan, dan tidak berhubungan dengan jabatan serta kewajiban atau tugas dari pegawai negeri/ penyelenggara negara.

Gratifikasi yang terjadi di lingkungan Pemerintahan saat ini tidak terlepas dari rendahnya pemahaman masyarakat dan pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait gratifikasi.

Masyarakat pada umumnya bahkan pegawai negeri atau penyelenggaran negara tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan gratifikasi apalagi implikasi hukumnya dan menganggap bahwa memberi dan menerima uang terima kasih bukanlah sebuah pelanggaran.

Budaya balas budi dan menanam budi yang telah diwariskan turun temurun di setiap struktur budaya lokal jelas lebih dipahami dan dipedomani oleh masyarakat dan pegawai negeri atau penyelenggara negara dibandingkan dengan gratifikasi yang minim sosialisasinya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Saran

Untuk menyelesaikan permasalahan gratifikasi di lingkungan Pemerintahan, Pemerintah perlu mengedepankan tindakan-tindakan pencegahan sebelum pemberantasan mengingat pemahaman masyarakat dan pengawai negeri/peyelenggara negara yang masih minim tentang gratifikasi.

Pencegahan dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dan pegawai negeri/penyelenggara negara bahwa tindakan pemberian hadiah atau uang terima kasih kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah tindakan gratifikasi yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001.

Tindakan pencegahan dapat dilakukan melalui sosialisasi, pemasangan baliho, poster, dan banner di lingkungan pendidikan. Selain itu, menurut hemat penulis diperlukan sistem pengendalian gratifikasi terutama pada unit kerja yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat dan pada unit kerja yang berhubungan dengan pengelolaan pendapatan dan belanja negara/daerah.

Sistem pengendalian gratifikasi dapat dilakukan minimal dengan penerapan etika dalam memberi dan menerima gratifikasi, dan komitmen pimpinan dalam melawan gratifikasi.

Membangun sistem pengendalian gratifikasi bukanlah hal yang sulit dan mustahil karena Komisi Pemberantasan Korupsi pun telah menyusun pedoman pengendalian gratifikasi yang dapat diakses, diunduh dan disebarluaskan secara gratis melalui https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/tata-kelola-pemerintahan/buku/pedoman-pengendalian-gratifikasi. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 4 Maret 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/03/selasa-4-maret-2025.html

Exit mobile version