Mencicipi Keindahan Daratan Pasifik

Agas ikut mengambil bagian di tengah candaan dan tawa di bibir pantai itu. Gigitan nyamuk kecil atau agas ini perih dan gatal sehingga membuat kulit merah. Laut mulai terlihat bergelombang sehingga sebelum matahari terbenam. Keinginan saya ke Dodola yang lama terpendam akhirnya terpenuhi.
Gelombang membuat sedikit tegang tapi kami menikmatinya. Paps mengarahkan perahu ke kanal kecil yang terbentuk secara alami di hutan bakau. Pemandagan burug-burung yang bertebangan dan pohon bakau terlihat menarik. “Ada kera yang hidup di sini (hutan mangrove),” kata Paps. Dan dibenarkan oleh Jafran dan Ko Ir. “Cuman kalau kera di Morotai tidak sama dengan di Bacan, yang ekorya pendek. Kera di sini ekornya panjang”.
Tanpa sadar kami sampai ke hulu kanal alam itu, dan mendapati beberapa anggota polisi yang berpakaian stenga dinas sedang memancing. Hari makin gelap. Kapal diikat ke kayu bakau dan kami turun, lalu berjalan melintasi perkebunan warga dengan pemandangan tanaman sayur mayur dan rumah kebun di sisi kanan jalan tanah yang sempit.
Ketika menemukan jalan aspal, rumah warga mulai terlihat. Warga yang baru saja pulang salat menyapa kami. Tak lupa kami beri senyum terbaik kami untuk mereka. Kami juga berpamitan dan berterima kasih untuk pemilik kapal.
Tugas liputan hampir selesai. Penghujung waktu di Morotai, air terjun Nakamura menjadi tujuan. Pertigaan jalan ada patung Nakamura dengan tulisan Teruo Nakamura seorang suku asli Taiwan yang direkrut menjadi tentara sukarela kekaisaran Jepang pada Perang Dunia ke II, sebagai pasukan khusus. Takasago ke 4 yang terkenal sebagai pasukan khusus perang gerilya untuk mempertahankan kepulauan Morotai dari gempuran tentara sekutu.
Melewati jalan berkelok Desa Nakamura dan jalan berlubang serta menanjak, suara air terjun yang gemuru mulai terdengar. Tandanya sudah dekat tinggal parkir mobil dan jalan kaki sebentar langsung terlihat air terjun yang deras. Air terjun Nakamura menjadi sumber air bersih bagi warga Morotai. Pipa ukuran besar terbentang di samping air terjun dan ada penampung air yang terbuat dari beton setinggi 2 meter di atas tebing.
Untuk sampai ke bak penampung, harus melewati jembatan kayu dan puluhan anak tangga. Air sungai di atas tebing begitu bening. Pohon yang rimbun dan suara gemerci air membuat saya terpikat. Saya melihat sekitar tapi selang beberapa waktu, saat berbalik Abang Mici yang sedari tadi berdiri di belakang tidak terlihat. Berulang kali saya panggil tapi tidak ada sahutan. Saya menuruni beberapa anak tangga dan memanggil Ko Ir dan Paps untuk menanyakan keberadaan abang Mici tapi, mereka tidak mendengar suara panggilan. Saya mulai panik, karena terhasut dengan cerita rakyat tentang keberadaan orang moro setelah pulang dari Air Kaca di hari sebelumnya.
Cerita mistis itu tidak lagi asing di telinga masyarakat lokal. Mereka percaya jika, orang Moro itu ada tapi tidak terlihat. Banyak kisah yang dikaitkan dengan orang moro seperti, warga hilang berminggu-minggu, lalu muncul dengan cerita diculik orang Moro sehingga tidak terlihat. Saya menuruni beberapa anak tangga lagi dan kembali memanggil untuk memastikan saya yang diculik orang Moro atau abang Mici yang diculik. Namun, Ko Ir menengok dan menjawab. Lalu saya kembali naik untuk mencari abang Mici dengan napas tersengal-sengal. Ternaya abang Mici berada di sisi lain bak penampung. Dia bukan disimpan orang moro, hanya suara deru air terjun yang menutupi suara saya sehingga tidak terdengar.
Hari makin siang dan kami langsung ke Daruba Pantai untuk menutup perjalanan dengan makan ikan bakar yang baru sekali mati. Daerah ini memang penghasil ikan tapi harga ikan bakarnya menguras kantong. Kak Upi salah satu kenalan kami dari Ternate ikut bergabung. (sst)
Komentar