Mencicipi Keindahan Daratan Pasifik

Dodola Menyipan Nestapa
Pergi ke Morotai tidak lengkap rasanya jika belum sampai ke Pulau Dodola. Pulau kecil yang berda di depan Daruba. Pulau ini sering disebut surga di bibir pasifik. Pagi itu, Irham dan Paps keliling pusat kota Morotai dengan jeriken merah mencari Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk ke Pulau Dodola. Kami juga menyiapkan alan seadanya untuk dibawa.
Sampai ke Pelabuhan, paps pergi mengambil kapal 3 GT milik kerabatnya untuk bisa mengangkut kami ke pulau-pulau depan Daruba. Paps tidak hanya lihai mengendarai kendaran di darat tapi, juga laut. Dia sandarkan kapal kecil itu di dermaga terapung.
Butuh kejelian saat berjalan menuju ke dermaga terapung, karena harus melewati dermaga kayu yang lapuk. Perjalanan kami kali ini tidak hanya berempat, tapi Jafran anak kampung Paps juga gabung. Tidak jauh dari dermaga, Paps menawarkan untuk singgah ke Pulau Zum-Zum. Pulau ini tidak dikelilingi pasir putih karena sebagiannya tumbuh pohon bakau.
Pulau ini menjadi selimut untuk tentara Sekutu yang dipimpin oleh Jenderal MacArthur. Maka dari itu, ketika perahu kami sampai ke bibir pantai Pulau Zum-Zum, patung Douglas MacArthur berdiri gagah menyambut kedatangan kami. Patung itu menjadi bukti kalau seorang jenderal angkatan darat yang menjabat komandan pasukan Amerika Serikat di Filipina 1942, kemudian menjadi komandan pasukan sekutu wilayah Pasifik Barat Daya, tahun 1942-1945. Terkenal dengan Strategi “Leap Frogging” dan slogannya “I Shall Return” dalam serangan merebut kembali Filipina. Merebut kepulauan Morotai pada 1944 sebagai basis penyerangan ke Filipina itu pernah mendiami pulau Zum-Zum.
Tak jauh dari kapal sandar ada tiga yang asik membakar ikan hasil tangkapan. Sedagkan kami seperti biasa mengabadikan momen dan melihat sekitar. “Dulu saya dan Anton pernah antar jurnalis perempuan dari media Kompas untuk liput goa pusat komando,” kenang abang Mici. Sebelum saya berkata apa-apa, abang Mici melanjutkan perkataan “Cuman tempatnya jauh dan ditutupi semak belukar jadi sulit untuk ke sana jadi tidak usah pergi karena, waktu kita terbatas”. Kami manut saja.
Setelah itu, perahu kami merapat ke Pelabuhan Pulau Koloray. Pulau yang terancam akan abarasi pantai ini, terdapat satu desa yaitu, Desa Koloray. Pekerjaan utama masyarakat desa ini yaitu, petani rumput laut dan nelayan. Desa ini juga terkenal dengan ikan asin nya.
Samping pelabuhan, di bawah pohon waru dan cemara terlihat para ibu-ibu sibuk mengikat rumput laut untuk ditanam di Pulau Dodola yang tidak jauh dari Pulau Koloray. Kami menghampiri mereka. Warga desa menyambut kami dengan hangat sembari mengikat rumput laut, warga meladeni obrolan dengan kami. Tampak juga anak kecil yang lihai dalam mengikat rumput laut. Dia jadikan pekerjaan orang tua sebagai tempat bermain.
Kemudian kami menanyakan rumah kelapa desa. Para kelompok petani rumput laut itu mengarahkan jalan menuju rumah kepala desa. Kami langsung beranjak pergi tapi, sebelum meninggalkan tempat itu, ada suara pangilan untuk Irham. Suara itu bersumber dari para petani rumput laut. Ternyata teman masa kecil Irham di kampung halaman, Musbar namanya. Dia ikut kapal nelayan hingga ke Koloray dan menikahi gadis di desa itu.
Sudah selayaknya teman lama yang baru bertemu, ada banyak cerita dan kabar yang dibagi sembari berjalan ke rumah kepala desa. Di jalan kami jumpai rumput laut yang dikeringakan dengan cara tradisional yaitu di jemur. Rumput laut atau agar-agar yang biasa disebut masyarakat lokal itu mulai menguning, penanda kering. Kampung kecil itu tampak tenang.
Setelah dua pulau kami singgah dari 5 pulau depan Daruba yang kami lewati, Pulau Dodola jadi tujuan akhir dan jadi tujuan utama. Hanya butuh beberapa menit dari Koloray untuk sampai ke Dodola. Di sana terpampang 2 pulau dipisahkan air laut. Satu pulau lebih besar atau lebih dikenal Dodola besar dan satunya lagi, Dodola kecil.
Baca halaman selanjutnya..
Komentar