Malutpost.com — Film dokumenter kerap menjadi sarana investigasi yang mengungkap fakta-fakta tersembunyi, mulai dari isu sosial hingga kriminalitas. Namun, di tangan sineas berbakat, dokumenter bisa menjadi medium ekspresi yang lebih luas, menggali kisah-kisah penuh makna.
Inilah yang dilakukan oleh Fanny Chotimah, sutradara muda yang menghadirkan cerita penuh cinta dan ketulusan dalam dokumenter terbarunya.
Ruang sinema Omah Sinten dipenuhi puluhan penonton yang datang dengan antusias. Sorot lampu meredup, layar menyala, dan film dokumenter berjudul Pendekar Daster Rombeng dan Pendongeng Sakti mulai diputar.
Selama 15 menit, para hadirin larut dalam kisah yang hangat, penuh emosi, dan membawa mereka kembali ke masa kecil-ke pelukan seorang ibu yang tak kenal lelah merawat dan mendongeng bagi anak-anaknya.
Film ini merupakan karya terbaru dari Fanny Chotimah, sutradara muda berbakat yang dikenal karena pendekatan personal dalam bercerita. Bagi Fanny, film ini bukan sekadar dokumenter, melainkan sebuah surat cinta untuk ibunya.
“Film ini lahir dari cerpen saya yang berjudul sama. Ini adalah bentuk penghormatan dan kebanggaan saya kepada ibu, yang telah membesarkan sembilan anak seorang diri,” ujar Fanny.
Dalam film ini, Fanny menampilkan ibunya sebagai sosok “Pendekar Daster Rombeng” seorang perempuan tangguh yang selalu mengenakan kain di kepala setiap kali merasa pusing, mirip pendekar dalam cerita silat.
“Ibu saya itu benar-benar seorang pendekar. Ia mengurus kami tanpa bantuan asisten rumah tangga, tanpa mengeluh, dan selalu penuh kasih. Setiap kali merasa sakit kepala, ia akan membebat kepalanya dengan kain, seperti seorang pendekar yang siap bertarung,” ungkapnya dengan penuh haru.
Baca Halaman Selanjutnya..
Selain sebagai ibu yang gigih, perempuan itu juga seorang pendongeng ulung. Setiap malam, setelah seharian bekerja, ia mengumpulkan anak-anaknya dan membacakan dongeng Nusantara dari Aceh hingga Papua.
Salah satu kisah yang paling sering ia ceritakan adalah dongeng Leungli, tentang seekor ikan ajaib dan seorang gadis bernama Nyi Rangrang. Dongeng inilah yang kemudian menjadi inspirasi utama dalam film dokumenter Fanny.
Untuk membawa kisah ini ke layar, Fanny memilih latar syuting di rumah masa kecilnya di Bandung, serta beberapa lokasi eksotis di Jawa Barat seperti Gunung Tangkuban Perahu dan Kawah Domas.
“Meski ini film dokumenter, saya tetap bermain dengan realitas dan staging agar unsur fantasi dalam dongeng bisa lebih terasa. Saya juga menggunakan media wayang golek sebagai elemen visualnya,” jelasnya.
Menariknya, seluruh pemeran dalam film ini adalah keluarga besar Fanny sendiri. Proses syuting yang berlangsung selama lima hari menjadi pengalaman yang tak terlupakan, terutama dalam mengarahkan sang ibu yang kini berusia 76 tahun.
“Mama sangat antusias, tapi tentu tidak mudah. Misalnya, adegan memasak telur ceplok harus diulang sampai sembilan kali. Tapi justru itulah yang membuat pengalaman ini begitu berharga, karena kami bisa berbagi momen bersama,” tuturnya.
Melalui film ini, Fanny ingin mengajak masyarakat untuk kembali membangun kehangatan keluarga, salah satunya dengan tradisi mendongeng.
“Mendongeng bukan sekadar bercerita, tetapi juga menciptakan kedekatan emosional antara orang tua dan anak. Imajinasi mereka berkembang, dan yang terpenting, mereka merasa dicintai,” ujarnya. (jpg/rul)