“Ini bukan akhir, hanya awal dari babak baru. Semoga kita bertemu lagi dalam cerita yang lebih indah di masa depan.”
Suatu hari, aku dan kinanti berjanji untuk menikmati hiruk pikut di pusat kota. Kebetulan dia juga memiliki tugas yang harus diselesaikan.
Tiing, ada pesan singkat dari kinanti. “Kak hari ini ada pasien yang harus di tangani,”
Aku menyangka, kinanti tak bisa ke Kota untuk menyelesaikan tugasnya. Tanpa ba bi bu, aku pun mengajak kakak ku untuk
menjadi pemandu dalam perjalananku.
Sejam kemudian, kami telah sampai di kota, tiba-tiba handphoneku kembali berbunyi. Ternyata benar, bahwa itu adalah panggilan dari kinanti yang menanyakan tentang keberadaan ku. Akupun memberi tahu, bahwa posisi ku di kota. Kinanti pun marah besar dan tak ingin bertemu denganku lagi.
Agar tidak mengecewakan kinanti, aku pun terpaksa meminta kepada kakak ku untuk turun dari si jago hitam. “Kak turun dulu ya, dan ini ongkos angkotnya,” ucapku dengan singkat. “Aku harus menyampari kinanti di tempat kerjanya,” kataku dengan tegas” sembari melihat pesan singkat dari kinanti.
“Aku sudah selesai menangani pasien, yuk kita ke- kota,”
Sesampainya, aku di omelin dengan sebutan tak komitmen hanya kerena kesalahpahaman.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tidak ada alasan lain, aku hanya bisa mengangukkan kepala dan mengeluarkan jurus pemungkas untuk mengelabuinya, dan benar saja aku berhasil meluluhkan hati kinanti.
Tak menunggu lama, kami langsung melanjutkan perjalanan, kinanti tak habisnya mengajak ku bercanda dan memelukku dari belangkang dengan penuh malu-malu. Hari itu aku cukup bahagia dan nyaman dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya, meskipun menempuh perjalanan satu jam lebih, tapi terasa begitu singkat.
Sesampainya di pusat kota, aku dan kinanti menyinggahi di sebuah warung dan memesan menu sebagai pengalas perut.
Obrolan kami masih seperti biasa, seperti hari hari sebelumnya, seakan peristiwa yang baru saja kami lewati sama sekali tidak pernah terjadi.
Singkat cerita, hari mulai sore. Aku dan kinanti memutuskan untuk kembali.
“Entar malam kita jalan-jalan ya,” ucap kinanti sembari menebarkan senyum manisnya.
Waktu berlalu begitu cepat, jarum jam menunjukkan pukul 9-00 Wit, aku dan kinanti kembali bertemu dan menyinggahi sebuah Caffe. Ya, tempat itu bisa di bilang tempat vaforit semua orang. “Ki, kita duduk di meja nomor 12 ya,” ajakku sembari mempersiapkan kursi agar kinanti duduk berhadapan denganku.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sekitar 15 menit kemudian, pesanan kami pun sampai. Aku dan kinanti mulai mencicipi satu-persatu dan ngobrol tentang kelanjutan dari hubungan kami. Bahkan kinanti memberi sedikit wejangan.
“Kamu harus pandai-pandai mensyukuri apa yang kamu kerjakan, dan harus kerja keras serta ikhlas,” punta kinanti.
Tidak terasa, jarum jam menunjukkan pukul, 00-00 Wit. Kebutulan langit mulai mendung dan angin kencang menandakan hujan akan turun. Aku dan kinanti tak mau terjebak hujan di tempat ini. Kami mulai mengendarai sijago hitam dengan kecepatan tinggi, aku hanya bisa tertawa setelah melihat wajah kinanti dari spion dengan raut wajah penuh ketakutan.
Sesampai di kediamannya, aku harus buru-buru pamit untuk pulang kerumah, karena langit mulai menangis dan mencurahkan tetes demi tetes di atas aspal dan atap rumah mulai mengeras.
Dari kejadian malam itu, terkadang aku senyum-senyum sendiri. Aku tatap langit-langit kamar dan melihat sepasang kecoak bercengkraman, mungkin mereka sedang malam mingguan, hehehe.
Kembali Ditempat Tugas
Minggu dan bulan berganti begitu cepat. Aku pun sudah kembali di tempat tugas sebagai misi untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat. Namun beberapa bulan kemudian, aku mendapat kabar dari kinanti tentang masa tugasnya akan berakhir pada 29 Maret. Mendengar ucapan kinanti, aku pun berdiri dan berlari di pelabuhan. Ternyata alampun merestui rencana kepulanganku di desa Fujin.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sesampainya, aku melihat Kinanti bercucuran air mata seolah tak ingin berpisah dengan rekan kerjanya.
Diwaktu yang berbeda, aku mencoba menghampiri kinanti untuk menenangkan.
Keesokan Harinya
Aku kembali mengantarkan kinanti di Kapal “Barcelona dan tiba ” pukul 12-00 wit.” kawan-kawan rekan kerja dari daerah fujin menghampiri sekaligus mengucapkan salam perpisahan.
Klakson kapal pertama sudah didengar, jantungku berdekat takaruan seolah tidak ingin berpisah dari kinanti. Klakson kedua, ketiga pun terdengar kembali. Bahwa kapal yang di tumpangi kinanti akan melepaskan jangkar dari aramada. Aku hanya bisa pamit dan bersalaman dengan kinanti dengan penuh pasrah.
Sedih, bukan? Aku hanya bisa berdiri di atas armada dan melihat kinanti dari kejauhan sembari melambaikan tangan dan memancarkan kesedihan. “Ternyata itu adalah tanda akhir dari pertemuan kami berdua,” kataku dalam hati.
Sengkat cerita, setelah kepulangan kinanti selama satu bulan lebih tak ada kabar.
Sahabat Kinanti yang juga merupakan rekan kerja semasa masih berada di daerah Fujin memberi kabar dan menjadikan kami berdua kembali berkomunikasi dan merancang masa depan, namun berakhir dengan tragis.
**
Lima bulan berlalu begitu cepat. Lelaki pilihan sang ibu kinanti diminta untuk kembali di kampung halaman dan diselesaikan untuk mengikrar janji suci di depan wali nikah. Mendengar kabar itu, aku mematung dan tidak menyangka, bahwa hubunganku akan berakhir begitu saja.
Baca Halaman Selanjutnya..
Bahkan undangan pernikahan disebarkan melalui sosial media. Membuat hati dan pikiranku pecah menjadi beberapa bagian dan lebih memilih untuk membujang seumur hidup.
Sakit si, iya, tapi apakah harus mengiklas dia pergi begitu saja, tanpa ada permintaan maaf dari dia. “Aku yakin, dia pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali dipelukanku,” ucapku dengan penuh pasrah.
Aku tahu, kinanti sudah bahagia bersama pasangan hidupnya. Apalagi, saat ini mereka sudah membina rumah tangga dan merancang masa depan yang lebih cerah.
Namun dengan masalah ini mengajarkan ku, bahwa sebagai manusia hanya bisa memiliki cintanya, tapi tidak dengan hati, dan jiwanya. Aku pun berjanji, tak akan memikirkan masa lalu dan harus menghadirkan orang baru sekaligus membangun komitmen untuk menuju di jenjang yang lebih serius.
Dari kisah ini, mengajarkan kita tentang ikhlas, dan harus melepaskan dia tanpa dendam, dan menerima kenyataan dengan lapang dada. Benar, Ini menyakitkan, tapi kita harus belajar, bahwa tidak semua yang kita inginkan menjadi milik kita dengan sentuhnya.
“Ikhlas, bukan berarti melupakan, tetapi merelakan dengan penuh kesadaran bahwa setiap pertemuan dan perpisahan adalah bagian dari perjalanan hidup.”
Dari situ, kita bisa tumbuh lebih kuat dan lebih siap untuk mencari cinta baru, yang mungkin lebih baik dan lebih tepat untuk kita. (*)