Oleh: Fachry Nahar, S.Ag,. MM
(Abna Alkhairaat Kalumpang Ternate, Alumni IAIN Ternate & Pasca Sarjana Universitas Satya Gama Jakarta, ASN pada Inspektorat Kota Ternate)
Rencana Pemerintah RI membuka lahan seluas 20 juta hektar dalam rangka kebijakan swasembada pangan dan energi pada tahun ini adalah ancaman terbesar terhadap peningkatan temperatur bumi makin panas.
Dimana hutan sebagai penyerap karbon dan penghasil oksigen pengatur sistem hidrologi mengalami kelumpuhan dan penurunan fungsinya memicu berbagai bencana ekologis dan krisis iklim.
Belum cukup 100 hari kerja pemerintahan Parabowo-Gibran dengan kebijakan tersebut telah memicu kontrovorsi yang sangat membahayakan kelangsungan ekosisten masa depan bumi dan mengancam resiko kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi.
Ditengah upaya reforestasi serta mengendalikan dampak maupun kebijakan rehabilitasi dan konservasi lingkungan tampaknya mengalami hambatan dan jalan terjal.
Cukup berarti atas nama kebijakan meningkatkan ketahanan pangan dan energi sebagai komuditas nasional yang digadang-gadang dikelola oleh korporasi (oligarki) adalah bentuk pembajakan lingkungan bertameng kebijakan atas nama kepentingan publik.
Kebijakan yang tidak populis dan tidak pro rakyak, kebijakan yang hanya menjadi arena sirkuit oligarki dan penguasa mendulang pundi-pundi kekayaan dan masyarakat menuai kehancuran kerusakan lingkungan, penggusuran ruang hidup, hilangnya sumber produksi dan ekonomi, konflik lahan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Perampasan hak secara paksa melalui aparat negara serta kriminalisasi dan marginalisasi massal atas nama upaya swasembada pangan dan energi adalah kebijakan yang terlalu beresiko terhadap kerusakan lingkungan dan ancaman masa depan.
Pembukaan hutan seluas dua kali lipat Pulau Jawa akan lebih meningkatkan deforestasi Indonesia yang menurut data Global Forest Watch (GFW) selama periode 2021-2022 mencapai 10.295.005 hektar.
Langkah ini pun tak sejalan dengan komitmen net zero emission (NZE) pemerintah dalam RPJPN 2025-2045, bahkan memicu konflik dengan masyarakat adat dan ancaman bencana serta meningkatkan tekanan krisis iklim.
Indonesia sangat terlambat dalam mengatasi kerusakana lingkungan, baru pada tahun 1973 di masukan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) setelah konferensi Internasional paling bersejarah di Stockholm Swedia pada 6-9 Juni tahun 1972.
Yang ditindaklanjuti dengan pertemuan di Nairoby Kenya pada 1982 atas kerusakan lingkungan cukup parah di Afrika akibat hilirisasi tambang dan di Rio Jenero Brazil pada tahun 1992 yang di kenal melalui piagam The Rio.
Menitikberatkan pada pembangunan berwawasan lingkungan (Ecodevelopment) sebagai embrio lahirnya Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pedoman Pengelolaan Pelestarian Lingkungan Hidup (PPLH).
Meskipun konsep pelestarian lingkungan hidup telah dimasukan sebagai undang-undang dalam pembangunan, namun regulasi ini nampaknya kehilangan kesaktian ditengah pemerintah mengeluarkan konsesi pada korporasi memicu kasus pembabatan hutan dan penggundulan lahan secara massif melalui ekstrasi sumber daya yang berlebihan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Eksploitasi tambang, serta hilirisasi jenis komoditas lainnya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan resiko kerusakan lingkungan maupun deforestasi makin sulit dikendalikan.
Ijin penguasaan hutan yang diberikan pemerintah pada korporasi telah berlangsung sejak rezim Presiden Soeharto hingga Joko Widodo membutuhkan 57 tahun menggadaikan 45 juta hektar hutan
Sedangkan Presiden Prabowo hanya dalam waktu 5 tahun menggadaikan 20 juta hektar atas nama swasembada pangan dan energi adalah tragedi ekologis dan kejahatan lingkungan yang luar biasa dengan resiko kerusakan yang lebih parah, ibarat menggali lubang tambang mengejar keuntungan negara, namun menjadi sarana kuburan massal pembantaian masa depan generasi mendatang.
Kondisi tahun 2022 luas kawasan hutan di Indonesia sekitar 125 juta hektar yang masih berpenutupan hutan seluas 82,4 juta hektar terdiri 42,6 juta hektar hutan primer, 35 juta hektar hutan sekunder dan 4,8 juta hektar berupa hutan tanaman.
Sedangkan jumlah luas hutan primer yang hilang sekitar 300.000 hektar setiap tahun, adalah negara keempat di dunia dengan kehilangan hutan primer terbesar.
Berdasarkan studi antara economical reversible (tekanan terhadap sumber daya alam/daya tampung maksimal) dengan adaptability level (daya dukung sumber daya alam minimal) seharusnya luas hutan primer tidak melewati irreversibility line.
Untuk Indonesia minimal harus memiliki hutan primer seluas 58 juta hektar sebagai batas irreversibility line nya. Membandingkan hasil studi tersebut dengan kondisi hutan primer saat ini hanya 42,6 juta hektar maka sebenarnya saat ini sudah memasuki kondisi sangat kritis dilihat dari daya dukung sumber daya alam berupa hutan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Menuju terjadinya bencana ekologis yang lebih besar berdampak pada ketahanan pangan, energi dan air. Dengan adanya rencana pemerintah membuka hutan seluas 20 juta hektar untuk swasembada pangan dan energi akan mempercepat terjadinya bencana ekologis dan memicu bencana alam lainnya secara massif yang sangat sulit dikendalikan.
Rencana pemerintah membuka 20 juta hektar hutan merupakan langkah mundur dan kontradiktif. Pasalnya, dalam COP29 di Azerbaijan, pemerintah berkomitmen melakukan reforestasi atau pengembalian tutupan hutan seluas 12,7 juta hektar, menjadi sesuatu yang paradoxal sebagaimana Hasyim Djojohadikusumo, sampaikan sebagai delegasi Indonesia.
Kehancuran lingkungan yang cukup parah, gempuran bencana yang mengepung kita ditengarai rencana kebijakan membuka 20 juta hektar hutan adalah potret tumpulnya kesadaran prediktif, dangkalnya kewaspadaan dini terhadap bahaya bencana yang mengintai, dan ketidaksiapan menghadapi masa depan, bahaya yang sedang menghadang di depan kita.
Menurut Intergovermental Panel on Climate Change, sebuah orgnisasi metereologi dunia yang didirikan PBB tahun 1988 melansir bahwa rata-rata suhu permukaan bumi meningkat satu derajat yang disumbangkan karbondioksida dan gas-gas lain yang terjebak dilingkungan lanskip atmosfer terus meningkat dan suhu planet akan bertambah 2,5 hingga 10,4 derajat lagi pada tahun 2100.
Sebuah laporan yang disponsori PBB bertajuk Millienium Ecosystem Assessment Syinthesis yang dikeluarkan tahun 2005 telah melakukan riset selama empat tahun dengan melibatkan 1.300 ahli dari 95 Negara.
Melansir bahwa badai iklim senantiasa meningkat akibat degradasi dan deforestasi yang dialami lima belas dari dua puluh empat ekosistem yang ada di planet ini makin meningkat dan mengancam kehidupan manusia makin tinggi.
Laporan milenium ini menandaskan, sekitar 60 persen dari ekosistem yang menopang kehidupan di planet ini terancam rusak parah oleh polusi, pemakaian berlebihan (over kapasitas) dan salah urus.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ini termasuk ekosistem yang paling penting bagi kehidupan manusia seperti air, pertanian, perikanan dan udara merupakan satu kesatuan yang saling menopang. Tidak adanya pengelolaan yang berkelanjutan atas iklim, ini menjadi inti persoalan dan akan meningkatkan resiko yang dihadapi dimasa depan.
Isyarat dari kerusakan lingkungan ini adalah teguran besar agar mendorong prilaku dan sikap keinsyafan nasional untuk melakukan tobat ekologis secara menyeluruh dan holistik disemua jajaran Kementerian dan Lembaga termasuk pemerintah daerah Propinsi Kabupaten/Kota terhadap bahaya bencana atas resiko kerusakan lingkungan.
Lebih parah ketika kebijakan swasembada pangan dan energi dengan tutupan hutan dan lahan 20 juta hektar adalah bencana besar yang sedang kita bangun dari proyek raksasa yang menjadi ancaman masa depan lingkungan serta memicu peningkatan krisis iklim dan suramnya masa depan generasi muda, untuk itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama; melakukan perencanaan kebijakan berbasis riset terutama resiko keberlanjutan pelestarian lingkungan sebagai aset dan investasi pembangunan masa depan dengan mengutamakan kebijakan pembangunan inklusif, ramah lingkungan agar menjamin kelangsungan masa depan bangsa.
Ini dilakukan dengan berbagai terobosan melalui pemberdayaan dan pembinaan serta penguatan peran petani dalam negeri melalui wadah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Untuk memperkuat dan memperluas areal pertanian dengan penyediaan benih unggul, penanaman, perawatan, produksi sampai dibeli pemerintah melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Dengan harga terjangkau adalah bentuk kebijakan yang memihak pada rakyat kecil sebagai wujud kehadiran negara untuk kesejahteraan, sekaligus meningkatkan kemandirian dan kedaulatan petani menuju swasembada pangan dan energi dengan mengurangi impor beras dari luar negeri.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kedua; Mewujudkan komitmen COP29 di Azerbaijan, pemerintah berkomitmen melakukan reforestasi atau pengembalian tutupan hutan seluas 12,7 juta hektar sebagai bentuk investasi lingkungan dalam upaya menjamin konsistensi pertumbuhan ekonomi.
Pada tren yang posistif ditengah gejolak pasar global agar mampu keluar dari perangkap Middel Incam Trap dapat terjaga kondisi dinamisnya, dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang memadai serta berkelanjutan mampu menjamin ekosistem pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun global.
Ketiga; Kebijakan pemanfaatan energi terbarukan melalui pembukaan hutan sekitar 1,1 juta hektar untuk menghasilkan 3,5 juta ton beras per tahun belum terlalu ungensif ditengah ketersediaan surplus lahan pertanian yang dimiliki petani dapat dioptimalkan.
Salah satu komoditas unggulan akan dikembangkan yakni padi gogo dibudidaya pada lahan kering dan tanaman aren sebagai sumber bioetanol. Ada juga biofuel dari minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dan bioetanol dari tetesan gula.
Dalam kebijakan biofuel atau B50, setidaknya butuh 9,2 juta hektar lahan untuk produksi CPO. Bioetanol melahap 2 juta hektar lahan hutan di Merauke dan Papua Selatan yang rencananya dikelola korporasi.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), bioenergi akan didorong menjadi bahan bakar utama dan menyumbang bauran energi terbarukan nasional.
Memanfaatkan sumber daya energi terbaru saat ini ditengah defisit tutupan hutan tidak semestinya membuka lahan baru menjadi prioritas terhadap kebutuhan lahan pengembangan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Namun memanfaatkan potensi pertanian milik masyarakat secara optimal untuk menghasilkan energi terbarukan jauh lebih penting ketimbang pengundulan yang menambah daya rusak ditengah pengendalian kerusakan limgkungan.
Adalah kebijakan yang terlalu beresiko terhadap lingkungan dan tidak berpihak pada petani lokal, hanya memperkaya korporasi (ologarki).
Mestinya kebijakan diarahkan pada penguatan peran petani lokal dengan memanfaatkan potensi pertanian terutama daerah surplus lahan dan pangan berbasis petani lokal dalam rangka mendukung swasembada pangan dan energi yang berkontribusi melalui petani lokal sebagai penopang ketahanan pangan dan energi nasional. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 16 Januari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/01/kamis-16-januari-2025.html