Site icon MalutPost.com

Tambang Menghancurkan Masa Depan

Oleh: Fachry Nahar, S.Ag,. MM.
(Abna Alkhairaat Kalumpang Ternate, Alumni IAIN Ternate dan Pascasarjana Univ. Satya Gama Jakarta. ASN pada Inspektorat Kota Ternate)

Dalam perspektif megatren global, kita sedang dihadapkan pada Triple Planetary Crisis, yaitu perubahan iklim, polusi/pencemaran lingkungan dan degradasi keanekaragaman hayati.

Ketiga krisis ini akan menyebabkan meningkatnya bencana di Indonesia, terutama bencana hidrometeorologi, yang mengakibatkan korban jiwa, kerugian ekonomi serta terganggunya sistem keamanan nasional dan ketahanan sosial. Maluku Utara saat ini ditetapkan sebagai kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) khususnya hilirisasi tambang.

Terdapat tiga kawasan hilirisasi industri pengolahan bijih nikel, dua di antaranya telah beroperasi yakni Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perusahaan tersebut terintegrasi dengan PT Weda Bay Nikel, di Weda, Halmahera Tengah.

Sedangkan di Buli, Halmahera Timur, pemerintah berencana membangun pabrik komponen kendaraan baterai listrik tahun ini. Pabrik itu diprakarsai oleh konsorsium LG dan konsorsium BUMN, yaitu PT Industri Baterai Indonesia atau dikenal Indonesia Battery Corporation (IBC).

Dari penetapan kawasan proyek strategis nasional (PSN), mendorong aktifitas pembabatan dan penggundulan hutan serta lahan  dengan daya rusak lingkungan yang tinggi pada tutupan hutan dan lahan (deforestasi).

Dengan eskalasi yang lebih besar dan luas serta pengerukan lahan secara massif adalah potret tambang sebagai mesin penghancur paling produktif terhadap kerusakan lingkungan dan kelangsungan hidup manusia serta  hilangnya ruang hidup sekaligus menghancurkan prospek masa depan sumber produksi ekonomi warga.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara  melansir tercatat saat ini lebih dari 213.960 hektar hutan di Maluku Utara telah terkepung Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel. Antara lain di Halmahera Timur yang terdapat 19 izin dengan total luas konsesinya sebesar 101.047,21 hektare. Sementara di Halmahera Tengah, ada 13 izin dengan luas total konsesi 10.390 hektare.

Baca Halaman Selanjutnya..

Halmahera Selatan ada 15 izin dengan total luas konsesi sebesar 32.236 hektare. Selain itu, terdapat IUP nikel yang mencaplok dua kawasan administratif sekaligus, yakni wilayah Halmahera Timur dan Halmahera Tengah sebanyak 4 izin dengan luas total konsesi sebesar 70.287 hektare.

Hilirisasi tidak saja berdampak pada tutupan hutan dan lahan di wilayah operasional penambangan bijih nikel, namun menambah hilangnya ruang hidup, terganggunya sistem hidrologi sebagai penopang ekosistem menjadi ancaman yang terus berkembang menghadang masa depan kita.

Data analisis spasial Global Forest Watch sejak 2001 hingga 2022 menunjukkan Halmahera Tengah kehilangan 26,1 ribu hektare tutupan pohon. Angka ini setara dengan penurunan 12 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 20.9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).

Sementara di Halmahera Timur, sejak 2001 hingga 2022, telah kehilangan 56,3 ribu hektare tutupan pohon. Angka ini setara dengan penurunan 8,9 persen tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan 44.5 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).

Sedangkan di Halmahera Selatan, sejak 2001 hingga 2022 sudah kehilangan 79.0 ribu hektare tutupan pohon. Luas lahan tersebut setara dengan penurunan 9.9 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 62.9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).

Potret pencemaran akibat lajunya tutupan hutan dan lahan menghasilkan buangan emisi karbon dioksida dalam jumlah besar telah menambah beban tekanan lingkungan terus meningkat sebesar 22.4 Mt CO?e, pada tahun 2023 adalah gambaran kontradiktif  dengan visi menyongsong Indonesia emas 2045.

Menjadi salah satu sasaran adalah mencapai “emisi nol netto (Net Zero Emission) dengan tingkat penurunan  93,5 persen, rasanya sulit dicapai ditengah mobilisasi bersar-besaran hilirisasi tambang yang diklaim sebagai kebijakan paling produktif mendatangkan nilai tambah, dengan terus memperluas area operasi menjadi 30 smelter pada tahun 2024, jauh lebih besar dari tahun 2023 hanya 15 smelter.

Meskipun narasi hilirisasi nikel acapkali dikaitkan dengan ambisi Indonesia menjadi Negara produsen baterai electric vehicle (EV) dunia, namun kenyataannya hanya 70 persen bijih nikel yang diekstraksi digunakan untuk pembuatan baja tahan karat (stainless steel), sedangkan porsi untuk baterai hanya 5 persen saja.

Baca Halaman Selanjutnya..

Dari operasi tambang secara massif telah memicu potensi bencana hidrometeorologi serta meningkanya berbagai peristiwa bencana seperti banjir di Desa Lelilef, Woebulan, Luku Lamo, Ake Jira, Kobe Halmahera Tengah dan Akelamo Kawasi Obi Halmahera Selatan secara berepisode.

Tanah lonsor yang memutuskan akses jalan lintas Buli-Subaim, Maba Halmahera Timur, dan jalan trans pulau Halmahera Payahe-Oba Kota Tidore dan Weda Halmahera Tengah, akibat masifnya deforestasi, meningkatnya angka kemiskinan akibat terbatasnya ruang hidup.

Defisit lahan pertanian akibat tingginya pencemaran lingkungan dan deforestasi, berkurangnya sumber penghidupan warga terutama di areal lingkar tambang berdampak pada menurunnya produksi pertanian tanaman pangan yang menjadikan hutan sebagai penyangga ekosistem dan sumber penghidupan warga telah dihancurkan

Melalui operasi tambang sebagai proyek strategis nasional atas nama program percepatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi yang manfaatnya lebih besar dinikmati oleh para elit kekuasaan dan oligargi dengan kemiskinan  (6,32 persen BPS Malut bulan Nopember 2024)  serta kehancuran  masa depan dengan bonus kerusakan lingkungan akibat operasi tambang.

Alih-alih mendatangkan manfaat mencapai tujuan pemerataan infrastruktur dan pertumbungan ekonomi, PSN melalui hilirisasi tambang justru menambah sejumlah persoalan baru bagi masyarakat pedesaan maupun perkotaan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terbatas serta meningkatnya kerusakan lingkungan melalui praktek alih fungsi lahan dan kawasan hutan.

Menurunnya kualitas lingkungn dan terganggunya sistem hidrologi sebagai penyangga ekosistem akibat tingginya pencemaran, hingga memicu penggusuran ruang hidup masyarakat, konflik sosial akibat perampasan lahan atas nama kepentingan publik, kasus kekerasan aparat negara hingga kriminalisasi ketika warga berjuang mencari keadilan mempertahankan haknya adalah bentuk penzaliman terhadap kemanusiaan.

Gagalnya hilirisasi tambang pada kawasan PSN dan kehancuran masa depan lingkungan adalah potret tragedi ekologis dan bentuk kejahatan lingkungan  yang dilakukan oleh Negara paling parah abad ini menurut Emil Salim.

Dampak kerusakan lingkungan akibat operasi tambang tidak saja tergusurnya ruang hidup warga, meningkatnya tekanan lingkungan akibat tutupan hutan dan terbatasnya lahan pertanian serta kerentanan pangan akibat pencemaran, namun setiap tahun Maluku Utara mengoleksi penduduk miskin pada Maret 2022 sebanyak 79.87 ribu orang.

Baca Halaman Selanjutnya..

Kemudian pada September 2022 jumlahnya mengalami tren peningkatan sebesar 82.13 ribu orang, dan pada Maret 2023 naik menjadi 83.80 ribu orang serta pada Maret 2024 mengalami kontraksi penurunan menjadi 83. 09 ribu.

Meskipun demikian belum signifikan dengan resiko kerusakan lingkungan yang tidak berbanding lurus antara manfaat dengan resiko kerusakan lingkungan yang menjadi ancaman bencana di masa depan.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa hilirisasi nikel di Maluku Utara hanya dinikmati oleh segelintir orang (elit penguasa dan oligarki) namun di sisi lain menyebabkan sebagian besar masyarakat mengalami pemiskinan nyaris parmanen (Data BPS Malut).

Akibat kehilangan sumber mata pencaharian (petani, nelayan, pekerja informal) seiring dengan meningkatnya pencemaran lingkungan mulai dari tutupan hutan dan lahan (deforestasi), terkontaminasi zat kimia berbahaya akibat pembuangan limbah industry telah mencemari sungai Sagea, Kobe, Ake Jira, Boki Manuru di Halteng dan sungai Akelamo di Kawasi Obi Halsel.

Serta laut Halmahera  termasuk teluk Weda, Buli tercemar, hingga mempengaruhi pendapatan dan menurunnya produktifitas warga nelayan akibat pencemaran lingkungan dengan tambang sebagai penyumbang terbesar kerusakan lingkungan.

Operasi tambang juga telah mermpas lahan dan ruang hidup warga melalui praktek ekstrasi sumber daya alam secara berlebihan diluar kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan baik terhadap pencemaran maupun degradasi ekologis termasuk sumber air yang  diekploitasi secara berlebihan dimana IWIP juga merampas hak asasi warga atas akses air bersih.

IWIP menjelma menjadi raksasa penghisap air terbesar di Halmahera Tengah. Dalam sehari, IWIP dapat mengekstraksi air baku dari Sungai Sagea, Sungai Kobe, Sungai Sake, dan Sungai Wosia sebesar 27.000 m3/hari.

Jumlah ini melampaui kebutuhan air untuk seluruh penduduk Halmahera Tengah yang berjumlah 96.977 jiwa pada 2023, sebesar 10.667,47 m3/hari (dengan angka konsumsi 110 L/orang/hari).

Kebutuhan air yang besar tersebut telah merubah siklus alami bergeser fungsi yang semula sungai sebagai sumber pemenuhan air bersih warga, berubah menjadi arena perebutan dengan perusahaan tambang, telah menambah beban daya dukung dan daya tampung sungai sebagai penyedia air baku.

Baca Halaman Selanjutnya..

Data Jaringan Tambang melansir, perusahaan merebut akses air bersih bagi warga Desa Gemaf dan Desa Lelilef Sawai dengan melakukan privatisasi pengelolaan air Sungai Wosia dan Ake Sake.

Perampasan hak warga atas air bersih juga dilakukan dengan mencemari sungai. Berbagai uji sampel air yang dilakukan Jaringan Tambang pada 2023 dan 2024 di Sungai Woesna atau Wosia, Sungai Kobe, Ake Doma, dan Sungai Sagea menunjukkan sungai-sungai tersebut telah tercemar dan tidak layak digunakan sebagai sumber pemenuhan air baku bagi kebutuhan minum dan memasak.

Dalam dua periode pengujian tersebut, ditemukan cemaran nikel dalam air sungai yang berisiko menimbulkan serangkaian gangguan kesehatan bagi manusia dan biota perairan. Pada pengujian di tahun 2023, ditemukan kandungan nikel total di Ake Doma dengan nilai mencapai 4,55 mg/L, Sungai Wosia 4,37 mg/L, dan Sungai Kobe 4,84 mg/L.

Cemaran serupa ditemukan pada pengujian 2024 di Sungai Sagea sebesar  0,0474 mg/L atau nyaris mendekati ambang batas maksimal yang disyaratkan oleh regulasi untuk mewujudkan ekosistem sungai yang sehat.

Hutan, sungai dan laut adalah sumber kehidupan dan masa depan warga, kini telah mengalami penurunan fungsinya bahkan berubah menjadi ancaman bencana akibat operasi tambang secara masif yang meluluhlantakan bentangan hutan dan lahan Maluku Utara seluas 213.960 hektar dengan hutan primer 188 ribu hektar adalah ancaman terbesar bencana hidrometeorologi di masa depan.

Sehingga memerlukan langkah preventif antisipatif untuk menghalau tingkat pencemaran, dan membendung eskalasi kerusakan maupun mengendalikan resiko sekaligus mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi.

Tanpa kita sadari ancaman bencana senantiasa berkembang secara dinamis, terus bergerak yang dipicu oleh perubahan iklim, pencemaran lingkungan dan degradasi keanekaragaman hayati terus membayangi dan mengintai kapan saja bisa terjadi bencana.

Untuk itu diperlukan upaya dan langkah nyata demi kesinambungan kehidupan dan kelangsungan masa depan lingkungan bagi generasi mendatang maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama; dari potret kerusakan ligkungan akibat operasi tambang dengan menjadikan Maluku Utara sebagai kawasan PSN dalam program hilirisasi perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah Pusat untuk melakukan evaluasi menyeluruh, komperhensif, terintergrasi dan holistik serta koreksi kritis terhadap dampak pencemaran yang terlalu beresiko terhadap kerusakan lingkangan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Serta pemicu ancaman kerusakan multidemensi baik sosial, ekonomi, politik dan pembangunan berkelanjutan, dimana tambang memiliki resiko kerusakan lingkungan dan mudharatnya lebih besar ketimbang manfaat serta tidak berorientasi keberlanjutan pembangunan  (Sustainability Development) dengan daya rusaknya paling tinggi.

Kedua; mendorong kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi wilayah sungai dan pesisir laut untuk mengendalikan resiko resiliensi terhadap pulau-pulau kecil yang rentan terhadap perubahan iklim serta bencana akibat pencemaran lingkungan.

Ini dilakukan untuk memastikan sejauhmana komitmen perusahaan tambang terhadap program CSR untuk rehabilitasi kawasan dan reboisasi hutan demi kelangsungan masa depan generasi mendatang.

Dengan bercermin pada kasus pasca tambang (Post Mining) di pulau Gebe, Buli, dan Haltim yang menyisakan kubangan gersang, lubang-lubang menganga yang rentan terhadap bencana dan ancaman krisis pangan  serta warga lokal kehilangan sumber penghidupan adalah potret tambang menghancurkan masa depan warga dan mewariskan bencana dan ancaman di masa depan.

Ketiga; mendorong kebijakan penguatan dan perluasan pertanian tanaman pangan sebagai langkah interupsi terhadap kerusakan lingkungan akibat operasi tambang atas nama PSN dengan segala resiko lingkungan untuk mendorong tercapainya swasembada pangan dalam rangka meningkatkan ketahanan.

Kemandirian dan kedaulatan pangan melalui terobosan transformasi pertanian berbasis teknologi dengan menjadikan Maluku Utara sebagai basis utama kebangkitan Poros Agraria yang merupakan solusi penyelamatan dan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan terhadap dampak kerusakan akibat operasi tambang.

Dari perpaduan ketiga upaya ini diharapkan menjadi solusi terbaik di awal tahun 2025 untuk mengembalikan masa depan lingkungan melalui upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi kawasan sungai dan laut sebagai satu kesatuan ekosistem yang menopang kebijakan swasembada pangan..

Serta langkah nyata mendukung keberlangsungan umur lingkungan agar menjadi asset dan investasi masa depan kehidupan warga Maluku Utara dan generasi mendatang menyongsong Indonesia emas 2045. Semoga…..! (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 08 Januari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/01/rabu-8-januari-2025.html

Exit mobile version