Oleh: Marwan A. Sahjat
(Anggota LBH Mahardika)
Sistem Peradilan Pidana yang digariskan KUHAP Tahun 1981 merupakan Sistem Peradilan Pidana yang diletakkan di atas prinsip “diferensiasi fungsional” antara aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan”.
Aktivitas yang diberikan undang-undang pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana merupakan fungsi gabungan ( collection of function ) dari: 1. Legislator; 2. Polisi; 3. Jaksa; 4. Pengadilan; 5. Penjara; 6. Badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.
KUHAP Tahun 1981 memuat sepuluh asas penting dalam penyelenggaraan peradilan pidana yaitu :
1. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence ).
2. Asas Opportunitas
3. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan ;
4. Asas unus testis nullus testis
5. Asas Pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum;
6. Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim;
7. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap;
8. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum;
9. Asas Akusator dan Inkuisitor;
10. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan.
Masalah sistem peradilan pidana bisa dijelaskan dari sudut substansi, struktur maupun kultur tersebut. Menurut substansi hukum terlihat bahwa kenyataan adanya instansi penyidik di luar kepolisian menunjukan tidak adanya sinkronisasi dengan desain yang ditata dalam KUHAP Tahun 1981 sebagai induk hukum acara pidana.
Sedangkan dari sudut kelembagaan, hal tersebut kurang menggambarkan adanya sebuah struktur yang mandiri dan terpadu karena terdapat beragam institusi yang masing-masing memiliki struktur organisasi sendiri dan sudah pasti juga memiliki tujuan sendiri-sendiri karena faktor tekanan organisasi itu sendiri dan lain sebagainya.
Dampak lebih jauh dari keadaan yang demikian itu adalah nilai-nilai, pandangan-pandangan dan sikap-sikap dari mereka yang terlibat dalam proses itu akan mempengaruhi kinerja yang cenderung bersifat instansi centris.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dan hal ini sangat tidak menguntungkan jika dilihat dari sudut usaha membangun kultur masyarakat untuk sadar hukum yang bisa berperan aktif dalam proses penegakan hukum pidana.
Sejak berlakunya KUHAP Tahun 1981, maka untuk tindak pidana umum yaitu tindak pidana yang diatur dalam KUHP, kejaksaan tidak lagi melakukan penyidikan terhadap tersangka.
Ini berarti bahwa proses pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan oleh penyidik tanpa campur tangan sama sekali dari penuntut umum.
Satu-satunya ketentuan yang memungkinkan kejaksaan selaku penuntut umum bisa memonitor proses penyidikan hanyalah apabila setelah dimulainya penyidikan, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum melalui apa yang disebut dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Dilihat secara umum, menurut sistem KUHAP Tahun 1981, hakim memiliki posisi yang sentral dan sangat menentukan, karena hakimlah yang menetapkan tentang terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa.
Kegiatan pengumpulan bukti-bukti dilakukan oleh penyidik, pemanfaatan alat-alat bukti menjadi tanggung jawab penuntut umum karena dialah yang berkewajiban membuat dakwaan dan membuktikannya melalui alat-alat bukti yang dikumpulkan oleh penyidik.
Keadaan demikian adalah konsekuensi logis dari sistem peradilan yang dianut oleh negara kita yang mewarisi sistem hukum Eropa Kontinental dimana menempatkan posisi hakim sebagai figur sentral dalam proses peradilan pidana.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kelemahan sistem demikian secara umum adalah kemungkinan terpinggirkannya fungsi-fungsi lainnya dalam proses peradilan pidana seperti fungsi penuntut umum maupun fungsi penasihat hukum dalam proses penyelesaian perkara.
Pengaturan Hukum acara pidana mengacu pada HIR (Herziene Inlandsh Regkemen ) berdasarkan undang-undang darurat No 1 tahun 1951.
Namun HIR tidak sepenuhnya ideal dalam perkembangan hukum acara pidana,seiring perkembangan zaman KUHAP1981 dianggap sudah tidak lagi relevan,kenapa?
1. Minimnya mekanisme control terhadap kewenangan aparat penegak hukum (khususnya kepolisian). Penyebab utamanya :
Sistem kompartemen dalam KUHAP yang membagi fungsi/kewenangan aparat penegak hukum dan pengadilan sesuai tahapan proses peradilan (penyidik/polisi- penuntutan/jaksa- persidangan/hakim).
Pembagian fungsi berdasarkan tahapan proses peradilan menjadi masing-masing lembaga bersifat otonom yang menyebabkan sistem peradilan pidana yang tidak terintegritas hingga minimnya check and balnces/control antara institusi.
2. Adanya pengabaian terhadap pemenuhan hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana
> Hak untuk mendapatkan pendampingan hukum dan mengajukan pembelaan secara efektif
> Hak untuk bebas dari penyiksaan/perlakuan yang tidak manusiawi
> Hak untuk tidak di rampas kemerdekannya (titangkap/ditahan) secara sewenang-wenang
Adanya pelanggaran hak-hak tersebut menunjukan bahwa KUHAP luput memberikan jaminan yang cukup terhadap pemenuhan hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana dalam proses peradilan pidana.
Baca Halaman Selanjutnya..
3. Ketidakseimbangan antara posisi Negara dengan warga sipil dalam ruang-ruang kontestasi yang juga terbatas. Misalnya ketidakjelasan pengaturan soal bukti yang menyangkut definisi/cakupan alat bukti dan minimnya ruang/kesempatan untuk menguji relevansi hingga keabsahan penggunaan alat bukti khususnya sejak awal dari proses penyidikan.
Sebab ternyata ditemukan masalah keterbatasan akses/kesempatan bagi tersangka maupun penasihat hukumnya untuk memeriksa alat bukti yang digunakan di persidangan hakimnya pun terlalu bergantung pada berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.
Sehingga cenderung mengabaikan fakta-fakta yang terungkap pada persidangan seperti ketika adanya klaim-klaim penyiksaan saat proses penyidikan.
4. KUHAP belum menjamin pemenuhan hak-hak korban kejahatan secara lengkap.Pengaturan mengenai ganti kerugian dalam KUHAP belum ideal untuk memberikan ruang yang cukup bagi pemenuhan hak korban kejahatan.
Hak-hak prosudural korban seperti :
> Mendapat pendampingan hukum dan non hukum
> Memberikan keterangan secara bebas
> Mendapatkan informasi perkembangan kasus
> Di pertimbangkan aspek sensivitas gendernya
KUHAP Tahun 1981 telah didesain sebagai mekanisme peradilan pidana yang mempergunakan pendekatan sistem. Kelemahan sistemik yang ada adalah pada subsistem penyidikan, tidak memuat ketentuan yang mengatur tentang kemungkinan adanya penyidik di luar Polri dan PPNS.
Sehingga memberi ruang munculnya produk hukum yang diatur dalam di luar KUHAP. Maka pentingnnya peran advokat dalam mendorong RUU-KUHAP sebab demi tercapainya kesetaraan dalam hukum dan sarana untuk mewujudkan keadilan.
KUHAP Tahun 1981 tidak memberikan solusi jika terjadi perbedaan penafsiran antara penyidik dan penuntut umum mengenai ketentuan peraturan pidana yang akan dikenakan kepada tersangka, dan juga tidak mengatur mengenai berapa kali proses pengembalian berkas perkara tersangka dari penuntut umum kepada penyidik.
Kelemahan yang menyangkut subsistem pengadilan, hakim lah yang memiliki posisi sentral dan sangat menentukan, karena hakimlah yang menetapkan tentang terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 23 September 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/09/senin-23-september-2024.html