Oleh: Faizal Ikbal
(Koordinator Lembaga Survei Indonesia Political Opinion (IPO) Maluku Utara)
Semarak kemerdekaan di depan mata. Mural dan Grafiti menghiasi dinding tembok dengan bertuliskan “sekali merdeka tetap merdeka”. di gang-gang lorong Kelurahan dan Desa sudah bergantungan botol kosong yang dicat warna merah-putih melintang dengan zig-zag di atas kepala.
Pemasangan umbul-umbul bendera, dan kokohnya tiang bendera sangsaka merah-putih di depan rumah warga membuat beranda pikiran kita pasti di bawah pada masa-masa Bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan.
Agustus, barangkali menjadi bulan romantisme, di mana Bangsa ini selalu segar ingatannya dengan sejarah berdarah-darah untuk memastikan masyarakat Indonesia keluar dari kemelut panjang penjajahan Kolonial.
Kurang lebih, satu setengah abad Indonesia di bawah kaki koloni, ditindas dan dirampas sendi-sendi kehidupannya. Lalu, tepat di 17 agustus 1945, Indonesia keluar dari sesak napas asap bom Kolonial, menuju nafas panjang kemerdekaan yang tandai dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan Hatta.
Pasca kemerdekaan, Indonesia dituntut untuk tetap bergerak mengakomodasi kepentingan rakyat diatas segalanya adalah tujuan dari merdeka. Dering untuk mengingatkan Negara bahwa masyarakat harus menjadi dasar dari setiap kebijakan, maka founding father merumuskan nilai-nilai pancasila sebagai aras praktis untuk membangun Indonesia.
Bung Hatta menyampaikan, ” Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagian dan kemakmuran rakyat!”
Pandangan universal yang tidak mendominankan kelompok apa pun harus dioperasikan, sehingga refleksi kemerdekaan di situasi krusial saat ini, benar-benar menempatkan urgensi kepentingan rakyat sebagai ruang komunikasi kesadaran bangsa yang majemuk ini untuk bisa berkomitmen mewujudkan lagi sinar harapan yang tercantum dalam sila terakhir “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.”
Baca Halaman Selanjutnya..
Sebagai penjaga rumah Indonesia, tentu menyelinap pertanyaan yang sangat fundamen untuk merefleksikan usia senja kala kemerdekaan. 79 tahun Indonesia, kemerdekaan model apa yang digandrungi Negara kita hari-hari ini?
Utang negara makin gendut, ekonomi Bangsa rontok, demokrasi di himpit, hilirisasi pertambangan jadi petaka dan segudang masalah lainya masih menyandra kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Hal ini, menunjukkan praktik Negara belum mampu mengejawantahkan visi besar bernegara. Kenyataan ini, semakin membuat warga Indonesia antusias untuk menggugat Negara dan barangkali, lintasan pikiran kita akan sampai pada kenyataan bahwa posisi Negara masih di bawah bayang-bayang oligarki kendati rezim orde baru telah berlalu.
F. Budi Hardiman lewat bukunya, “Dalam Moncong Oligarki” (2013). Menganggap, Negara sejak awal lebih memilih Preferensi Pasar Untuk menumpas krisis ekonomi. Ini tampak sebagai jalan keluar untuk terapi krisis ekonomi awal-awal Reformasi dan berjalan, sehingga sampai ke sini kita melihat kekuatan bisnis-politis menjadi paradigma Negara.
Kondisi ini sangat memberi keuntungan bagi segelintir orang super-kaya yang biasa disebut kelompok oligarki. Tak heran, mereka dengan aset-asetnya mempengaruhi kebijakan Negara untuk melanggengkan kepentingan private.
Kekaguman Negara terhadap kelompok oligarki setidaknya, ditunjukkan secara terang-terangan oleh rezim Jokowi saat ini. Seorang ilmuwan politik dari Northwesterm University, Amerika Serikat, Jeffrey A. Winters.
Membenarkan, Bahwa Jokowi adalah produk oligarki. Buktinya, di sekeliling kekuasaan di isi oleh orang-orang yang memiliki bisnis raksasa di indonesia.
Baca Halaman Selanjutnya..
Nama-nama seperti, luhut binsar Pandjaitan, Menteri koordinator bidang kemaritiman dan investasi indonesia, tercatat sebagai pendiri PT Toba Sejahtera dan di dalamnya ia memiliki saham sebesar 99,98%.
PT Toba Sejahtera juga memiliki 16 anak perusahan yang bergerak diberbagai sektor, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian juga mencatatkan namanya sebagai pebisinis tambang yang berhubungan dengan PT Bara Hanyu Kapuas dan PT Harapan Multi, suami Puan Maharani (ketua DPR RI) yang dikait-kait dengan Odira Energy Karang Agung dan PT Rukun Raharja.
Untuk melanggengkan monopoli bisnis oligarki, maka dibangun kekuatan politik Parlemen (DPR-RI) yang berkelindan dengan relasi bisnis. Sebanyak 427 dari 575 kursi (74,2%) hasil pileg 2019 lalu, berada di dalam moncong oligarki.
Kalau sudah begini, tentu orientasi kebijakan parlemen pasti akan tersandera dengan kepentingan Oligarki. Kebanyakan, titipan dan bekapan yang berhubungan dengan daerah-daerah yang masuk dalam pemetaan wilayah garapan oligarki.
Dalam satu kesempatan diskusi virtual yang digelar Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Melalu Bidang Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Desa, mengambil tema ‘’ masa depan otonomi daerah pasca Omnibuslaw ‘’ (15 juli 2021).
Menghadirkan pembicara lintas kepala daerah di antaranya bupati kabupaten halmahera tengah, Wagub, Sumatra Barat, dan Bupati Bandung, yang membenarkan. Bahwa, daerah hanya masuk dalam perangkap besar proyeksi kebijakan pusat.
Terutama dalam sektor pertambangan, otoritas kewenangannya cenderung berada di tangan pemerintah pusat. Apalagi pengesahan Omnibuslaw hanya akan memperlemah kewenangan pemerintah daerah. dan kepala daerah akan menerima kenyataan sebagai pengawal regulasi, penyelenggara dan pelaksana pemerintah di daerah.
Padahal berdasarkan fakta, daerah lah yang menerima konsekuensi dari eksplorasi pertambangan. Ambil contoh, Konawe, Moroali, Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan dan beberapa Daerah lain di Indonesia Timur yang di pasung untuk memenuhi proyek strategis Hilirisasi Tambang sebagai bantuk ambisi dan obsesi Presiden Jokowi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Alih-alih perbaikan ekonomi namun berujung kutukan. Kerusakan lingkungan di laut dan darat, politik kavlingan, peremapasan tanah adat, kemiskinan, adalah bentuk petaka memenuhi hasrat hilirisasi pertambangan (lihat dokumenter wacthdog: Kutukan Nikel).
Pemerintah daerah sebenarnya, memiliki domain besar menjerat pihak perusahan. Akan tetapi, daerah akan dianggap tidak ramah dengan kepentingan pemerintah pusat yang jor-joran berdalil, menghalangi investasi sama halnya memperlambat tumbuhnya ekonomi Indonesia. Setidaknya, sikap ini sudah menjadi tali-temali hegemonik Negara.
Secara umum, kepungan Negara (segelintir penguasa) atas sumber daya alam di Daerah dapat menguatkan formasi oligarki yang mendiskriminasi nilai-nilai kepentingan bersama. Di sini kita melihat pemerintah daerah hanya terjebak dalam obesitas kekuasaan Negara dan memiliki pelemahan peran menghadapi imperatif-imperatif oligarki.
Kondisi dan situasi ini benar-benar harus direfleksikan dalam Hari Ulang Tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 hari ini, sehingga mengembalikan posisi Daerah seperti dalam amanat otonomi daerah adalah cara Negara menghargai eksistensi masyarakat.
Kelak kepentinganya akan di akomodasi lewat Pemerintah Daerah yang secara sosiologis dapat memahami dan membaca dasar keinginan warga dan membingkainya dalam kesejahteraan.
Akhirnya, kita akan mungkin tiba pada satu kenyataan kemerdekaan yang kerap memiliki perhatian besar pada tujuan akhir berbangsa. dengan begitu, kita akan juga keluar dari kubangan oligarki yang menjadi parasit dalam Negara.
Ini harapan besar penduduk Indonesia yang telah berikrar bahwa 17 agustus adalah hari kemerdekaan Indonesia bukan merayakan hari kemerdekaan oligarki.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 20 Agustus 2024