Berebut Kuasa di Negeri Tambang

Menurutnya, dinamika hubungan antara masyarakat adat dan pertambangan melibatkan penghancuran masyarakat adat, wilayah, dan budaya mereka.
Walakin, ia tetap meyakini bahwa masyarakat adat memiliki ketahanan yang luar biasa karena terbukti telah bertahan selama ribuan tahun.
Sayangnya, pemerintah daerah lebih sering tampil sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam mengeksekusi atau melindungi kepentingan-kepentingan tambangnya di daerah.
Masih ingat ketika Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dikukuhkan sebagai tetua adat di Halmahera Tengah? Mungkin beberapa dari kita bangga dengan hal itu.
Tapi, sadar atau tidak, penetrasinya ke dalam kelembagaan adat kita merupakan upaya politis untuk mencengkeram daya kritis masyarakat asli. LBP dan Jokowi adalah setali tiga uang.
Karena itu, lazim masyarakat tahu, ‘dikirimnya’ Ikram M Sangadji sebagai Penjabat Bupati Halmahera Tengah selepas Edi Langkara juga tak lepas dari kedekatannya dengan LBP. Itu wajar saja sebagai dua orang yang berteman, atau bentuk hubungan lainnya.
Kita bisa saja berbangga karena besarnya potensi tambang. Tapi segera setelah itu langsung miris sebab data kemiskinan justru tertinggi di daerah-daerah tambang: Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Jokowi menghibur, Maluku Utara adalah provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi. Paradoks kesejahteraan, sekali lagi!
Menjadi pemimpin (bupati/gubernur) di wilayah penghasil tambang memang tidak mudah. Tekanan dari atas (pusat) cukup kuat. Sementara gejolak dari bawah (masyarakat sekitar tambang) sarat tuntutan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar