Berebut Kuasa di Negeri Tambang

Mengingat sektor pertambangan menjadi kewenangan pemerintah pusat, berdasarkan Undang-Undang Minerba, maka pemerintah daerah kehilangan dayanya.
Mereka lebih tampak sebagai suksesi pemerintah pusat dan tameng bagi perusahaan tambang dari pada menjaga martabat hidup warganya.
Saya menunjuk Kabupaten Halmahera Tengah sebagai contoh bagaimana pertambangan memiliki daya rusak terhadap lingkungan dan masyarakat.
Potensi tambang sendiri sebenarnya adalah berkah yang wajib disyukuri. Sebagaimana halnya ikan-ikan di lautan, serta kelapa, pala, cengkih, dan lain-lain di daratan.
Semuanya menjadi sumber penting penghidupan kita dari generasi ke generasi. Tetapi tambang memang memiliki karakteristik sendiri. Perlu teknologi tinggi untuk mendapatkan dan mengolahnya, termasuk penjualannya.
Keuntungannya juga memang tidak sedikit. Sebab itulah negara mengaturnya sedemikian rupa dengan berbagai regulasi sampai-sampai pemerintah daerah seperti terpasung di hadapan kelimpahan negerinya sendiri.
Dalam hal pertambangan nikel kita, inilah yang disebut Nicholas Bainton (2020) sebagai ‘kutukan sumber daya’ atau ‘paradoks kelimpahan.’
Simpulan Bainton ini didasari atas beberapa kajiannya terhadap hubungan antara pertambangan dan masyarakat asli (indigenous people). Tokoh lain lagi, Ciaran O’Faircheallaigh (2023).
Ia memaparkan dinamika politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang diciptakan oleh ekspansi pertambangan ke wilayah masyarakat adat (saya lebih senang menggunakan istilah ‘masyarakat lokal’).
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar