Berebut Kuasa di Negeri Tambang

Nasib baik akan meliputi kita jika tepat memilih pemimpin. Gaji atau upah kita terima tepat waktu, mau itu honorer atau pun pegawai tetap (ASN). Program-program bantuan tidak meleset dari sasaran seharusnya. Kebalikan dari itu, petakalah yang kita dapati.
Tengoklah kehidupan masyarakat di sekitar aktivitas usaha pertambangan. Lahan-lahan pertanian/perkebunan milik petani terpaksa dilepaskan sebab korporasi telah bersekutu dengan pemerintah sehingga perampasan menjadi tampak legal.
Sungai dan mata air menjadi rusak atau cemar karena kuasa perusahaan tambang untuk mengeruk tanah. Hasil penelitian M Ridha Ajam dkk (2021; 2023) di Halmahera Tengah menegaskan hal ini.
Sementara oknum yang seharusnya bertanggung jawab atas kemaslahatan rakyat sesuai kewenangan dari instansi pemerintah yang dipimpinnya, tersumpal diam.
Jika pun bicara, maka pernyataannya “semua masih dalam ambang batas, masih normal”, atau nada lain yang seolah melindungi industri ekstraksi yang nyata-nyata merusak lingkungan itu. Media ini berkali-kali mewartakannya secara aktual.
Coba kita kenangkan lagi fenomena paling anyar dari Halmahera Tengah. Banjir menggenangi kampung-kampung. Sebelumnya, marak penolakan warga dan organisasi masyarakat sipil terkait dugaan tercemarnya sungai mereka.
Atas berbagai peristiwa – jika bukan bencana – yang menimpa masyarakat sekitar pertambangan, banyak warga berkata, ini akibat aktivitas pertambangan. Sementara pemerintahnya sibuk membela diri, termasuk membela perusahaan-perusahaan tambang.
Pulau-pulau kecil pun tak lepas dari usaha pertambangan. Meski jelas bertentangan dengan Undang-Undang, atas nama investasi, semua dibolehkan. Ini juga bukti betapa regulasi kita tumpang tindih satu dengan yang lain. Apa daya pemerintah daerah?
Peran pemerintah daerah
Tantangan yang dihadapi kepada daerah di daerah pertambangan, baik sebagai bupati maupun gubernur, lebih besar ketimbang daerah tanpa potensi pertambangan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar