Tuhan Cemburu

Ilustrasi.

"Jangan-jangan kamu trauma ya, atau mungkin diam-diam kamu masih memperjuangkan hingga rasa lelahmu itu menjadi alhamdulillah,"ledek Hendri seolah membaca isi pikiranku.

“Apaan sih,”balas ku singkat sembari memalingkan wajah darinya dan menatap ke arah laut jauh kedepan.

Pikiran dan hati membawa ku kembali mengingatkan setiap detail wajah cantik Kinanti, senyumnya dan cara dia memandangku. Harus ku akui tidak segampang itu menggantikan posisinya dihatiku. aku seolah ingin menolak takdir bahwa hubungan ku bersama Kinanti telah usai. Aku bahkan beberapa kali masih terpikirkan untuk berjuang lagi dan lagi sampai mendapatkan restu ibunya. Namun, ketika dihadapkan dengan realita, aku tersadar bahwa semua hanya akan sia-sia. Itulah akhir kisah cinta aku dan Kinanti; cinta tak direstui.

Butuh waktu yang lama untuk sembuh, ku akui itu, aku tertatih namun sadar juga bahwa patah hati adalah bagian dari perjalanan hidup manusia meski berat untuk dilalui. Tapi, kehadiran patah hati itu sebagai kesalahan manusia yang tidak tepat dalam menyikapi perasaan.
“Bukankah Tuhan telah memperingatkan kamu berulang kali agar tidak lagi berharap kepada Kinanti? Lalu kenapa kamu sulit untuk melupakan kinanti? Kenapa kamu berharap berlebihan? Kenapa sulit untuk mengendalikan perasaan?,”tanyaku dalam hati.

Puluhan bahkan ratusan kali pertanyaan-pertanyaan yang sama selalu ku ulang dalam otakku. Bukan untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut melainkan untuk menegaskan bahwa tidak ada lagi Kinanti dalam hidup ku. Disisi lain, aku sadar betul, aku hanya manusia biasa, tempatnya salah dan khilaf sehingga wajar jika aku pasang surut bak air laut.

Lamunanku sontak buyar karena suara pelan menyapaku dari belakang.
“Ini kak, kopinya,”ucap Dewi sambil melihat ke arahku dengan penuh senyuman.

“kawan, kamu harus mencari yang lain untuk mengisi patah hati itu, agar cepat sembuh dari luka," saran Hendri sesaat setelah Dewi kembali ke belakang.

Saran dari Henri tidak aku telan mentah-mentah, sebab, yang aku pikirkan bahwa Hendri adalah tipikal orang yang sembuh dengan hadirnya orang baru. Namun, apakah aku sama dengan Hendri?. tanyaku dalam hati.

Rasanya sampai saat ini, masih cukup sulit untuk menerima sosok lain menggantikan posisi Kinanti di hati ini. "Apakah cinta yang aku berikan kepada Kinanti terlalu berlebihan, sehingga tuhan menghalangi perkara itu melalui sepucuk surat, namun di saat seperti ini, Tuhan apa yang harus aku perbuat, adakah cara yang bisa aku lakukan? ataukah aku harus menunggu kabar dari langit?,”ucapku lagi dalam hati.

Hendri yang sedari tadi menungguku, membuka percakapan, lebih memilih untuk menyeruput kopi miliknya. kami pun mengobrol dari satu topik ke topik lainnya, cukup banyak sampai waktu menunjukan pukul 18.25 wit.
“Balik yuk, udah adzan magrib,”ajakku kepada Hendri agar menyudahi ngopi ini dan pulang.

***

Sore itu, angin bertiup cukup dingin, suara teriakan anak komplek yang main sepak bola di lapangan kampung terdengar cukup keras. Tak banyak yang aku lakukan setelah selesai dengan pekerjaanku. Rasanya sore itu sore yang baik untuk mengawali perjalanan hidup seusai terpuruk dari cinta yang tak direstui, mood ku cukup baik bagi seseorang yang berada di fase move on.

Sedari tadi aku asyik duduk di teras rumah sambil merokok ditemani segelas kopi hitam, aku memilih menatap jauh ke jalanan di depan rumah ketimbang sibuk memainkan hape. Ingatanku kembali pada saran teman-teman dekat kepada ku agar pergi ke negeri seberang. Kata mereka, aku perlu menyebrang laut, tinggal di lingkungan baru sehingga perlahan bisa menyembuhkan rasa sakit di dada.

Aku awalnya merasa lucu dengan saran tersebut. tapi, toh, sepertinya harus dicoba dengan kondisiku yang sakit hati karena cinta tak direstui, diperparah dengan kabar soal kembalinya Kinanti ke pelukan mantannya yang dulu. Mereka kembali merajut kasih dan mempublikasinya lewat sosial media keduanya.

Sakit hati?. “oh jelas,”kataku. aku kan mencintainya pakai hati. Wajar saja kalau aku sakit hati melihat hal itu. Namun, nampaknya tuhan tidak merestui aku untuk berkawan dengan rasa sakit hati ini dalam waktu yang lama. Terbukti, seolah alam merestui saran teman-temanku, aku dipindahkan tugas ke daerah lain. itu artinya aku harus menyebrang laut untuk mencapai tempat tugasku yang baru.

Aku kini berada di tempat yang baru. Sejak pagi tadi, hari perdanaku di tempat baru, aku selalu pintakan doa kepada Tuhan sebagaimana saran dari teman-temanku agar aku bisa move on dengan bantuan lingkungan dan orang-orang yang serba baru. Nampaknya, skenario Tuhan terhadapku berjalan mulus. aku ingat betul wejangan dari senior yang baru saja aku kenal pagi tadi, Mawar namanya. "Ketika kita merasa tersakiti, hanya ada dua pilihan. Bertahan walau disakiti atau pergi karena ingin bahagia dan jangan membuat Tuhan kembali cemburu. Dan ingat! Perasaan sakit hati mungkin akan membuat kamu diselimuti duka dan lara, sehingga membuat hidup merasa tak semangat lagi. Tapi, ingat bahwa Tuhan selalu ada di dalam hati,”ucapnya kepada ku. (Bersambung).

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...