Kebijakan Komersialisasi terhadap Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia

Beberapa harapan seperti menciptakan kesejahteraan, menghasilkan luaran unggul, menutupi kekurangan biaya dan menekan angka pengangguran sepertinya masih jauh panggang dari api. Sebaliknya, polemik besarnya biaya kuliah yang terus berulang menjadi presenden buruk dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi kita.

Pemerintah dapat dikatakan gagal dalam merealisasikan strategi adopsi ala Inggis dan Amerika tersebut, karena kondisi sosio-ekonomi Indonesia direkonstruksi untuk pertumbuhan yang begitu pesat, sehingga menghasilkan hasil yang tidak diinginkan dan menimbulkan dampak sebaliknya pada masyarakat.

(1) komersialisasi telah meningkatkan jumlah lulusan di tingkat perguruan tinggi, namun kapasitas industri dan pasar di Indonesia secara keseluruhan belum mampu menyerap dan menampung lulusan perguruan tinggi dalam jumlah besar. Jadi, strategi untuk memperluas jumlah lulusan perguruan tinggi tanpa menciptakan lapangan kerja yang memadai justru meningkatkan angka pengangguran.

(2) komersialisasi pendidikan tinggi telah mengubah seluruh sistem pendidikan menjadi sistem berbasis kelas dan telah menciptakan monopoli besar-besaran terhadap sektor swasta.

(3) pemberlakuan struktur biaya yang tinggi, di satu sisi telah menghalangi sejumlah besar mahasiswa yang layak dan memenuhi syarat untuk diterima di perguruan tinggi negeri (PTN), karena kekurangan biaya yang besar, sementara di sisi lain memberikan kesempatan kepada perguruan tinggi swasta (PTS) untuk memanfaatkan situasi tersebut.

(4) pemberlakuan struktur biaya yang tinggi telah menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi di seluruh masyarakat, di mana komersialisasi pendidikan tinggi semakin memperbesar kesenjangan yang sudah ada antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat karena meroketnya biaya kuliah.

Mungkin benar yang disampaikan Goenawan Mohamad bahwa “betapa mahalnya ongkos pendidikan sekolah bagi sebuah Negara miskin, tapi juga betapa omong kosongnya sistem sekolah itu untuk menghilangkan jurang kemiskinan tersebut”. Saat ini, mahalnya biaya pendidikan dan sistem pendidikannya tidak bisa mensejahterakan masyarakatnya menjadi persoalan urgen bangsa ini.

Prinsipnya pendidikan memiliki korelasi yang kuat dengan perkembangan sosio-ekonomi suatu Negara, karena masyarakat dengan tingkat pendidikan tingginya lebih tinggi memiliki lebih banyak peluang untuk berkembang di tingkat ekonomi dan sosial dibandingkan dengan negara-negara yang tingkat pendidikan tingginya lebih rendah.

Statistik Pendidikan Indonesia (2023), menunjukkan capaian Angka Partisipasi Kasar (APK) di perguruan tinggi sebesar 31,45 persen. APK tersebut masih jauh dari target sesuai Renstra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024 sebesar 37,63 persen.

Menurut teori Pembangunan Modernisasi, jika lebih dari 15 persen total penduduk suatu negara memiliki akses yang sama terhadap pendidikan tinggi maka negara tersebut dapat menetapkan tujuan pembangunan nasionalnya. Berdasarkan Statistik Pendidikan Indonesia (2023), penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di perguruan tinggi hanya sebesar 10,15 persen.

Tantangan dunia pendidikan Indonesia saat ini adalah keterbatasan ekonomi khususnya dalam pemerataan pendidikan. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk keluar dari tantangan tersebut.

Memang kebijakan komersialisasi pendidikan tinggi telah membuahkan hasil di Inggris dan Amerika, namun kebijakan ini perlu dipertimbangkan kembali di Indonesia, karena beberapa faktor, seperti ukuran populasi, pola pemerintahan, demografi, dan keadaan sosio-ekonomi masyarakatnya.

Terlepas dari apapun kebijakan pemerintah nantinya, semua kalangan masyarakat harusnya memperoleh akses yang sama terhadap pendidikan tinggi. Sebagai penutup pesan dari penulis Amerika, Khaled Hosseini sangat menyentuh “pernikahan mungkin bisa menunggu, namun pendidikan tidak bisa”.(*)

Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Selasa 28 Mei 2024.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...