(Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2024)

Karakter Guru Kapitalistis Dan Komersialisasi Pendidikan

Dari argumen di atas maka sangat jelas bahwa pendidikan diarahkan bagi seseorang dengan cita-cita untuk meraih pendidikan setinggi mungkin dalam tujuan untuk menggapai sebuah gelar akademik yang dapat merubah status sosial demi memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dan menjanjikan.

Penulis menggaris bawahi, bahwa ada kecendrungan institusi pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) melahirkan pendidikan dengan sumber daya manusia yang condong berprilaku egois, begitu kental bersikap individual, yang menyebabkan rapuhnya rasa solidaritas dan kehidupan spiritual . Pribadi-pribadi yang terbentuk tidak lagi bersahaja tapi mengarah pada sikap materialis.

Adalah bukti sebagai pribadi guru yang memanfaatkan profesinya untuk menghasikan uang dan keuntungan. Inilah yang dinamakan guru kapitalistis dalam konsep berpikir cenderung pada pendidikan kapitalisme sebagai sektor jasa perdagangan (bukan pelayanan masyarakat). Maka guru tersebut lebih banyak mengejar uang dari pada melaksanakan tugas kegiatan belajar mengajar.

Tak jarang yang bersangkutan pergi meninggalkan tugas dan kewajibannya hingga berbulan-bulan tanpa ada rasa bersalah dan malu terhadap diri pribadi. Namun ironisnya penuntutan gaji dan tunjangan dialah orang yang terdepan dan menyolok. Bahkan mengejar karier moncer sebagai kepala sekolah (jabatan basah) dia termasuk yang paling bersemangat, sekalipun memiliki kompetensi dan kemampuan yang minim di bawah rata-rata.

Tak heran bila dalam hal pengangkatan dan penugasan kepala sekolah berbuntut pada kesenjangan sosial. Kepala sekolah tak bisa berbuat banyak untuk menjalankan Tupoksinya (Tugas pokok dan fungsi) dalam kepemimpinan pemelajaran dengan baik dan inovatif. Karena untuk mendapatkan posisi ini diwarnai dengan permainan kekuasaan dan kekuatan politik, orang dalam (ordal) dan jual beli jabatan.

Pengalaman telah membuktikan sebagai pelajaran dan suatu perseden buruk. Adalah para guru yang telah lulus mengikuti Diklat tiga bulan Calon Kepala Sekolah dan bersertifikat Nomor Unik Kepala Sekolah (NUKS) serta telah berpredikat Guru Penggerak, tapi tak pernah diangkat dan ditugaskan sebagai kepala sekolah sampai tiba masa pensiun (guru yang berNUKS).

Fenomena di atas benar-benar miris, padahal kepala sekolah adalah motor penggerak dan orang yang paling bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkan (responsible and accountable) jalannya pendidikan dan pengajaran berorientasi manajemen mutu di sekolah dan terhadap pendidik, peserta didik, staf dan orang tua peserta didik.

Dalam kepemimpinan sekolah, kepala sekolah berfungsi ganda selaku otoritas formal sebagai manajer dan otoritas informal sebagai pemimpin. Maka pengangkatan dan penugasannya bukan karena atas dasar suka atau tidak suka serta karena hak prerogatif pemimpin, namun ini telah jelas diatur dalam koridor dan regulasinya (Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021).

Sehingga bagaimana mungkin seorang guru yang miskin kapasitas, inisiatif, kapabilitas dan inovatif bisakah mengukir ekspektasi sebagai seorang kepala sekolah yang mandiri dan berdedikasi serta memiliki peran sentral dalam membimbing, mengelola dan mengembangkan sekolah? Yang pasti muncul disharmonisasi dan kegaduhan dalam pengelolaan manajemen sekolah dan warga sekolah serta hilangnya kewibawaan kepala sekolah di mata warga sekolah dan masyarakat.

Komersialisasi Pendidikan
Komersialisasi pendidikan berarti memperdagangkan pendidikan. Menurut Kahar ( 2007), dalam salah satu pandangannya tentang istilah komersialisasi Pendidikan yakni, pendidikan yang hanya mementingkan uang namun mengabaikan kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikakan ini biasa dilakukan oleh lembaga atau sekolah yang menjanjikan pelayanan pendidikan, namun tidak sepadan dengan uang yang telah diberikan pada lembaga atau sekolah seperti ini, sisa anggaran yang diperoleh tidak ditanamkan kembali untuk infastruktur pendidikan, melainkan untuk anggota yayasan atau pihak-pihak yang menguasai lembaga tersebut.

Banyak permasalahan yang muncul di dalam dunia pendidikan di era globalisasi ini, munculnya moralitas kapitalistis yang mendorong kecendrungan pelaksanaan pendidikan ke arah pendidikan yang berorientasi pada kenikmatan ekonomi materialistis yang melahirkan pendidikan yang condong pada komersialisme sebagai komoditas yang di dalamnya ada transaksi jual beli.

Fakta yang terjadi yakni kenaikan iuran komite dan UKT secara drastis, adanya kantin-kantin dan koperasi-koperasi sekolah yang menjual pakaian seragam sekolah, buku-buku pelajaran serta makanan dan minuman, disamping penjajaan ilmu pengetahuan kepada mereka yang mau membayar dengan harga yang mahal.

Sebagaimana Anies R. Baswedan ( 2023) mengatakan, bahwa pendidikan hanyalah semata-mata untuk menciptakan penjaja ilmu pengetahuran yang akan menjual ilmunya kepada orang yang akan membayarnya dengan harga termahal. Dampak dari komersialisasi pendidikan yakni mahalnya biaya pendidikan yang tidak mungkin dijangkau oleh masyarakat ekonomi lemah, sehingga menyebabkan anak-anak mereka tidak dapat menikmati pendidikan dari jenjang pendidikan terendah hingga pendidikan tingga. Nasrun Minallahi Wa Fathun Qarieb.(*)

Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Senin 27 Mei 2024.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...