Pupus di Laut Banda, Haruskah Aku Tetap Berjuang?

“Apakah wanita itu layak diperjuangkan?"tanya Fairus lagi.
Sesak dadaku. Sungguh, aku tak ingin berada di posisi ini, posisi dimana aku harus kehilangan cinta lalu merasakan patah hati yang teramat perih. Hampir tidak ada orang yang ingin merasakan kehilangan cinta maupun patah hati karena itu pasti berat untuk dilalui.
"Fairus, coba deh kamu memposisikan diri di posisiku, pasti kamu juga butuh waktu untuk sembuh, waktu untuk move on, dan untuk melalui proses itu tidak semua orang bakal sama, ada yang cepat tapi ada juga yang lama. Intinya kita semua berjuang sampai bisa merelakan dan melanjutkan hidup masing-masing, meski mungkin bagi sebagian orang itu tidak akan lagi sama seperti sebelumnya,"tegas ku.
Meski begitu, aku tidak pernah menyalahkan rasa cintaku pada dia apalagi membunuh rasa cintaku pada dia. Yang aku tahu, cinta bisa mati secara alami karena kita tidak tahu bagaimana mengisi kembali. atau karena kebutaan dan kesalahan serta pengkhianatan. "Satu lagi, cinta itu bisa mati karena penyakit dan luka, bisa mati karena kelelahan, karena layu, karena noda," kataku kepada Fairus.
Harus ku akui, di awal menjalin hubungan dengan dia, banyak hal yang sudah direncanakan bersama. Ada perjuangan untuk saling memiliki dan membangun hubungan serius yang bertahan lama. Namun, semua itu tinggal harapan yang pupus ditengah jalan diterjang dengan gelombang dan menyisakan ruang yang hampa, membuat kita menjadi bingung cara untuk mengisi kehampaan tersebut.
….. Tadinya aku masih berharap dia yang akan membangun narasi perjuangan.
Namun kenyataannya, aku hanya memanjangkan angan-angan".
Sepenggal kalimat terakhir dari puisi “Ruang Hijau” yang ditulis aktris kenamaan Natasha Rizky. (*)
Komentar