(Retrospeksi dari Beton ke Nurani)
80 Tahun PU Membangun Negeri, Tetapi Untuk Siapa?

DELAPAN puluh tahun Kementerian Pekerjaan Umum (PU) adalah waktu yang cukuppanjang. Namun di tengah keluhan yang terdengar di teras-teras rumah, para ibu-ibuyang cuciannya menumpuk karena air tidak mengalir, tukang ojek melewati jalan berlubang, siswa yang belajar di kelas dengan plafon rusak dan halaman sekolah yang tergenang air, seolah masa delapan dekade itu terasa belum menjawab banyak hal. Dari obrolan-obrolan sederhana seperti itu, muncul satu pertanyaan, apakah pembangunan yang berlangsung selama ini benar-benar ditujukan untuk rakyat?
Kondisi-kondisi itu tentu bukan tanggung jawab Kementerian PU semata. Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi juga memikul kewajiban mengurus infrastruktur dasar tersebut. Tetapi bagi masyarakat, soal kewenangan tidak penting. Mereka tidak bertanya ini urusan siapa dan ini kewenangan siapa. Yang mereka butuh: jalan tidak rusak, air yang mengalir di keran rumah, sawah yang terairi, dan sekolah yang aman dari banjir. Bagi mereka, pemerintah dianggap bekerja jika kebutuhan itu terpenuhi. Laporan masyarakat terkait kondisi jaringan irigasi di Pulau Morotai adalah contoh kerancuan kewenangan masih membingungkan publik.
Ketika seorang anggota DPD-RI menyuarakan keluhan petani soal jaringan irigasi sekunder yang tidak dialiri air, UPT Kementerian PU menjelaskan perihal yang dikeluhkan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten. Di lokasi tersebut, Kementerian PU hanya mengerjakan jaringan irigasi tersier melalui program padat karya yang kini sudah difungsikan petani. Penjelasan itu benar secara administratif, tetapi tidak menjawab persoalandi lapangan. Bagi petani, soal kewenangan tidak penting. Yang mereka tanyakan hanya satu: Kenapa air tidak sampai ke sawah?
Pertanyaan serupa muncul ketika menengok slogan PU “Sigap Membangun Negeri” beberapa tahun lalu. Slogan tersebut bukan sekadar pajangan; ia menggambarkan cara pemerintah menunjukkan arah pembangunan di negeri ini. Dari slogan itu, terdapat penegasan bahwa negeri ini sedang dibangun secara masif. Dan memang begitu yang kita lihat. Pembangunan infrastruktur berlangsung di mana- mana tanpa jeda. Data capaian Target Keluaran (output) Utama Kementerian PU Tahun 2024 menunjukan bahwa rehabilitasi Daerah Irigasi (D.I) mencapai 90.594 hektar dari target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian PU 2020-2024 seluas 2 juta hektar.
Kapasitas layanan air baku yang terbangun bertambah 2,42 m3/detik. Di bidang Bina Marga, pembangunan jalan mencapai 350,93 kilometer dan pembangunan jembatan mencapai 3.966 meter. Sementara itu, di bidang Cipta Karya, sebanyak 3.013 unit sarana prasarana pendidikan dasar dan menengah telah selesai direhabilitasi dan direnovasi, serta 22.343 unit rumah susun telah dibangun dari total target Renstra 51.340 unit. Angka-angka ini menunjukkan negeri ini memang benar dibangun. Beton diaduk, tiang-tiang besi dan baja berdiri tegak di mana-mana. Grafik output bergerak cepat, laporan akuntabilitas kinerja berhamburan dengan angka-angka capaian.
Namun di balik deretan capaian itu, muncul pertanyaan yang tidak kalah penting: Apakah pembangunan ini benar-benar menyentuh manusia? Apakah ia menjawab keluhanpara petani, nelayan, ibu rumah tangga, ojek, dan siswa sekolah? Atau sekadar memenuhi laporan kinerja?
Jika benar angka-angka itu telah mencerminkan pembangunan untuk rakyat, seharusnya kita tidak lagi menyaksikan berita tentang guru dan siswa-siswi SD Negeri 240 Desa Bobo di Pulau Obi harus bertaruh nyawa menerjang arus sungai deras untuk sampai ke sekolah.
Dalam hal ini, rakyat tidak akan merasakan “output”, tetapi “outcome”. Mereka tidak peduli infrastruktur ini kewenangan siapa. Bagi mereka, infrastruktur adalah tugas pemerintah, tidak peduli mau itu pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Mereka juga tidak peduli dengan angka 2,42 m3/detik kapasitas air baku dan 3.966,34 meter panjang jembatan yang dikerjakan atau berapa ratus unit rumah susun yang didirikan. Yang mereka pedulikan apakah air sudah mengalir ke sawah dan keran rumah, akankah rumah mereka aman dari banjir, dan sudah kah tersedia jembatan untuk anak-anak mereka pergi ke sekolah.
Oleh karena itu, arah paradigma pembangunan ke depan menjadi sangat penting. Melalui momentum peringatan Hari Bakti PU ke-80, Menteri PU Dody Hanggodo menegaskan kembali narasi pembangunan yang berorientasi pada manusia; “dari Beton ke nurani,” dari “membangun negeri” ke “membangun rakyat”. Penambahan frasa “Untuk Rakyat” pada slogan “Sigap Membangun Negeri Untuk Rakyat” bukan sekadar penekanan linguistik. Ia menjadi koreksi paradigma, bahwa infrastruktur dibangun bukan untuk mengejar angka, tetapi untuk menghasilkan manfaat yang dirasakan langsung masyarakat. Proyek perintis Kementerian Pekerjaan umum melalui Direktorat Jenderal Sumber
Daya Air di Pulau Maitara merupakan bukti nyata negara telah hadir membangun untuk rakyat. 47 tahun sejak kemerdekaan Indonesia, Pulau Maitara baru menikmati air bersih. Puluhan tahun warga Maitara menggantungkan hidup pada air payau ketika kemarau. Pada 2019, Kementerian PU berhasil membangun pipa bawah laut Rum-Maitara sepanjang 800 meter dan berhasil mengalirkan air lintas pulau. Untukpertama kalinya warga Pulau Maitara merasakan kehadiran negara melalui air bersih yang mengalir ke rumah mereka. Sebuah proyek pionir yang mengubah kualitas hidup, bukan sekadar menambah angka pada laporan.
Pulau Maitara adalah pelajaran penting bagi Kementerian PU, bahwa pembangunan baru akan bernilai ketika masyarakat merasakan manfaatnya. Tantangannya kini adalah menghadirkan pengalaman serupa di berbagai daerah yang masih sulit mengakses air bersih. Pembangunan itu bukan hanya mendirikan beton, tetapi juga meringankan beban hidup rakyat. Mengubah air mata menjadi air bersih, mengubah angka menjadi manfaat, mengubah slogan menjadi kenyataan. Pembangunan yang memberikan manfaat seperti di Pulau Maitara ini mengingatkankita pada mandat UUD 1945 tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa pembangunan harus adil, bermanfaat dan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah pusat dan pemerintahdaerah harus bersinergi, bukannya saling melempar kewenangan. Dengan begitu, tidak ada lagi petani yang harus menanti air sementara pejabat sedang sibuk berdebat siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang berwenang. Pada akhirnya, retrospeksi 80 tahun Bakti PU bukan hanya soal mengarungi setapak sejarah panjang pembangunan di Indonesia, bukan pula soal membangun jembatan, bendungan, irigasi, atau jalan raya. Ia adalah soal ke mana arah pembangunanini ditujukan. Apakah kita masih membangun negeri sebagai entitas abstrak, atau mulai membangun untuk rakyat.
Gerakan Setahun Bekerja, Bergerak, Berdampak adalah upaya untuk mempertegas kembali bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan pemerintah haruslah berdampak langsung kepada masyarakat. Jika tidak, satu pertanyaan yang akan terus muncul dan tidak akan pernah hilang; Untuk siapa sebenarnya pembangunan ini ditujukan?(*)



Komentar