Tak Ada Sosialisasi, Pemerintah dan BBT Diam-diam Tanam Patok di Perkebunan Masyarakat Desa Wayatim

Labuha, malutpost.com -- Masyarakat Desa Wayatim, Kecamatan Bacan Timur Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), terancam kehilangan perkebunan dan pertanian yang dikelola puluhan tahun.
Pasalnya, kebun dan tanaman tahunan serta bulanan yang menjadi sumber kehidupan turun temurun dari leluhur hingga saat ini diekspansi Hak Pengelolaan (HPL) oleh Badan Bank Tanah (BBT) serta pemerintah kabupaten.
Ekspansi ini dibuktikan dengan penanaman sejumlah patok di atas tanah perkebunan masyarakat. Patok berwarna merah hijau dengan tulisa BT (Bank Tanah) itu dipasang di atas lahan warga tanpa sosialisasi atau pemberitahuan.
Yusran Sangaji, pemuda Desa Wayatim, saat dikonfirmasi menjelaskan lahan pesisir dan daratan yang masuk HPL BBT adalah area perkebunan dan pertanian yang telah lama dikelola masyarakat setempat. Padahal menurutnya, lahan yang dipatok BBT seluas 519 hektar itu dipenuhi dengan pertanian masyarakat Desa Wayatim, yakni pohon kelapa, cengkeh, pala, kakao dan kenari.
“BBT yang memasang patok itu, semua ada tumbuhan pertanian masyarakat, mulai dari pohon kelapa, cengkeh, pala, kakao, dan kenari. Bahkan ada satu pulau yang dinamakan pulau Paniki yang berlokasi di depan kampung pun diklaim masuk HPL BBT yang ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung oleh pemerintah setempat," akunya, Jumat (28/11/2025).
Yusran juga bilang, masyarakat Desa Wayatim, yang jelas tak memiliki sertifikat atas lahan perkebunan mereka. Sehingga, BBT memanfaatkan dengan memasang patok serta meminta masyarakat mengelola lahan HPL sebagai Hak Pakai, bukan hak milik. Pada akhirnya, masyarakat merasa tanah yang menjadi turun temurun dari leluhur diambil alih sepihak oleh pemerintah dan BBT
“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa program ini tidak mencerminkan asas transparansi. Harusnya setiap kegiatan atau program lebih transparan untuk melibatkan masyarakat. Bukan diam-diam lalu memasang patok. Jadi, bisa disebut negara hadir bukan memuliakan masyarakat, tapi merampas hak masyarakat," tegasnya.
Dirinya menilai, konflik agraria ini menggambarkan tarik-menarik antara kepentingan pembangunan dan hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada tanah sebagai sumber kehidupan. “Sebagai pemuda dan masyarakat Desa Wayatim, berharap pemerintah dan BBT lebih transparan dalam menjalankan misi perampasan tanah tersebut. Supaya, masyarakat juga tahu dan tidak dirugikan," tandasnya.
Senada, Andi Abdi yang juga masyarakat Desa Wayatim mengungkapkan, BBT bergerak cepat sejak audiensi dengan Bupati Halsel, Hasan Ali Bassam Kasuba sejak 30 Juli 2025 lalu. Bahkan, penandatanganan MoU antara BBT dan Pemerintah Halsel telah berlangsung sejak 8 Agustus 2025, diikuti dengan sosialisasi serta pembahasan potensi lokasi HPL yang tidak melibatkan masyarakat.
“Bupati menerbitkan Surat Rekomendasi Penetapan HPL kepada BBT pada 11 Agustus 2025, yang mencakup pelepasan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 31.796 hektar," tungkasnya.
Sementara itu, Kepala Desa (Kades) Desa Wayatim Adam Hataya, ketika dikonfirmasi belum lama ini mengaku, BBT yang masuk ini merupakan program Presiden Prabowo yang ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah di setiap provinsi hingga kabupaten. “Yang masalahnya, pemerintah daerah tidak pernah komunikasi ke tingkat desa atau Kepala Desa. Jadi kita (Kades) dan masyarakat tahu saat pihak BBT dan pemerintah datang memasang patok," akunya
Kades juga menyatakan, saat itu kehadiran pihak BBT dan pemerintah, sempat menyampaikan kepada sejumlah masyarakat yang bertepatan belum ke kebun. “Jadi sosialisasi singkat kepada sejumlah masyarakat yang saat itu belum ke kebun, sehingga secara rinci masyarakat belum mengetahui jelas. Tapi, pada intinya dari BBT sampaikan program ini untuk mensejahterakan masyarakat," singkatnya mengakhiri.
Sebagai informasi, BBT telah mencatat aset seluas 33.115,6 ha yang tersebar di 45 kabupaten/kota di seluruh Indonesia pada tahun 2024. Pada tahun 2025, BBT memperluas HPL di 21 provinsi, termasuk Halsel seluas 3.890,2 ha. Pihak BBT menjelaskan bahwa HPL di Halmahera Selatan berkaitan dengan pengembangan agromaritim dan kelapa dalam yang diprogramkan oleh Bupati Hasan Ali Bassam Kasuba.
Sebaran HPL meliputi beberapa kecamatan, termasuk Bacan, Bacan Timur, Bacan Timur Tengah, Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, dan Kepulauan Joronga, dengan total 8.735 ha.
Gubernur Maluku Utara juga diketahui telah meneken MoU dengan BBT pada 8 Oktober 2025 di Jakarta, dengan tujuan mengubah lahan tidur menjadi produktif demi kesejahteraan masyarakat. Sekitar 200.000 ha Areal Penggunaan Lain (APL) berpotensi berstatus HGU kepada BBT demi hilirisasi industri kelapa.(one)



Komentar