Thamrin Marsaoly: Tujuh Tahun Menyulut Harapan di Kota Tanpa Lahan

Oleh Rusdi Abdurrahman
(Pewarta)
Di Ternate, pulau kecil dengan bukit terjal dan lahan yang kian tergerus pembangunan, bertani sering dianggap sebagai pekerjaan yang mustahil berkembang. Kota ini lebih dikenal sebagai wilayah jasa dan perdagangan, bukan rumah bagi tanaman hortikultura. Namun tujuh tahun terakhir, satu nama mematahkan anggapan itu: Thamrin Marsaoly.
Perjalanan Thamrin di Dinas Pertanian Kota Ternate tidak dirayakan dengan peresmian besar-besaran, tidak diikuti gegap gempita spanduk atau baliho. Ia memulainya dengan cara yang paling sederhana dan mungkin paling sulit: menundukkan ego sebagai pejabat. Alih-alih menjaga jarak, Thamrin justru mendekat. Alih-alih duduk di balik meja, ia memilih duduk di beranda rumah para petani. Di saat banyak pejabat mempertahankan citra formal, Thamrin hadir tanpa atribut. Kemeja lusuh, sepatu yang sering berdebu, dan motor yang lebih banyak ia pakai dibandingkan mobil dinas.
“Kalau mau mengubah sesuatu, kita harus mulai dan banyak mendengar,” katanya satu kali saat berbincang bersama Jurnalis di sela kunjungan ke salah satu petani cabai di bilangan Kelurahan Tubo.
Menjemput Keluh Kesah, Menumbuhkan Kepercayaan
Tujuh tahun bukan waktu sebentar untuk mendampingi petani. Thamrin menghabiskan hari-harinya keluar masuk kampung, mengunjungi kebun kecil yang menempel di tebing, menelusuri jalan sempit di Kelurahan Ngade, Marikurubu, Jambula, Loto, Tubo hingga Kayu Merah. Ia mendengar cerita tentang gagal panen, keluhan soal benih, pupuk yang sulit, air yang kurang, dan pasar yang sering tidak berpihak pada petani kecil. Dari mendengar itulah ia memetakan masalah: bukan hanya soal lahan, tetapi juga soal mental. Para petani Ternate sudah lama merasa terpinggirkan, meski mereka tetap bekerja tanpa keluhan.
Mantan Juru Bicara Wali Kota Ternate ini pun memulai dari titik itu: memulihkan kepercayaan mereka. Ia tidak menjanjikan hal muluk. Ia hanya mengajak mereka mengubah cara pandang. “Pertanian itu bukan soal luas, tapi soal konsistensi,” ujarnya. Kalimat itu kemudian menjadi pegangan banyak kelompok tani yang ia bimbing.
Berangsur-angsur, para petani yang sebelumnya hanya menggantungkan hidup pada pala, cengkih, durian dan kelapa mulai berani melirik hortikultura. Mulai menanam cabai, tomat, terong, daun bawang, timun, melon, bahkan sayuran daun yang cocok ditanam di polybag. Perubahan kecil itu merembet menjadi kebiasaan baru. Lama-kelamaan kelompok tani binaan Thamrin menjelma menjadi kelompok percontohan hortikultura terbaik di Maluku Utara di Kelurahan Loto, yang menjadi langganan kunjungan para pejabat dari ibu kota negara.
Yang unik, kepercayaan itu bukan tumbuh dari proyek besar, melainkan dari kesediaannya untuk hadir, mendengar, dan ikut menanam bersama mereka.
Motivasi yang Merambat ke Banyak Kalangan
Perubahan pikiran tidak hanya ia tanamkan pada petani. Ia menyasar siapa saja yang ia temui: teman sebaya, sahabat lama, komunitas pemuda, hingga jurnalis. Baginya, pertanian bukan hanya soal profesi; ia bisa menjadi kesadaran bersama, gerakan kecil untuk menekan inflasi, mengurangi beban hidup, dan membuat kota lebih mandiri.
Ia sering mengulang gagasan sederhana:
“Kalau setiap rumah tanam rica dua atau tiga pohon saja, kita bisa menghemat 300 sampai 400 ribu per bulan. Bayangkan kalau semua orang melakukannya.”
Gagasan itu tumbuh menjadi gerakan kecil. Banyak rumah di kelurahan-kelurahan mulai menanam cabai di polybag, di pot, di halaman sempit, bahkan di pinggir jendela. Dalam pandangan Thamrin, mengendalikan inflasi tidak harus selalu datang dari gedung rapat pemerintah. Ia bisa dimulai dari rumah, dari pekarangan kecil, dari tangan-tangan masyarakat sendiri.
Filosofi hidupnya sederhana tetapi dalam:
“Tidak ada petani yang gagal, kecuali dia tidak mau serius dan tidak mau tangannya kotor.”
Akhir Sebuah Masa, Awal Tugas Baru
Kini, setelah tujuh tahun mendampingi petani Kota Ternate, Thamrin diberi tanggung jawab baru sebagai Kepala Bappeda Maluku Utara. Sebuah jabatan strategis yang akan menentukan arah pembangunan provinsi. Perpindahan ini membawa rasa ganda: kebanggaan sekaligus harapan.
Bagi banyak petani di Ternate, kepergian Thamrin dari Dinas Pertanian adalah kehilangan. Mereka kehilangan sosok pejabat yang hadir apa adanya, yang tidak takut basah kuyup di kebun, yang tidak sungkan duduk di tanah untuk berdiskusi, yang sabar mendengar, dan yang tulus mengajarkan bahwa pertanian bisa maju meski tanpa lahan luas.
Namun di sisi lain, mereka menyimpan keyakinan bahwa di posisi barunya, Thamrin bisa memperjuangkan hal yang lebih besar: perencanaan pembangunan yang memberi ruang bagi pertanian kota, urban farming, penguatan ketahanan pangan, dan kemandirian produksi lokal.
Perjalanan yang ia tinggalkan bukan akhir, melainkan fondasi. Para petani berharap tugas barunya mampu membuka akses lebih luas bagi pertanian Ternate:
Anggaran yang lebih besar dan tepat sasaran, terutama untuk hortikultura skala rumah tangga.
Penyediaan benih unggul sepanjang tahun, bukan hanya ketika program berjalan.
Pemanfaatan lahan-lahan tidur milik pemerintah untuk menjadi kebun percontohan.
Integrasi antara pertanian, pariwisata, dan edukasi, sehingga generasi muda melihat pertanian sebagai profesi masa depan, bukan pilihan terakhir.
Konektivitas pasar yang lebih stabil, agar hasil panen petani kecil punya nilai jual yang pantas.
Di tengah perubahan kota kecil yang padat dan terus berkembang, harapan petani tetap sama: bahwa hal-hal yang telah ditanam Thamrin tidak layu, tetapi tumbuh menjadi gerakan yang lebih besar.
Tujuh tahun Thamrin Marsaoly di Dinas Pertanian Kota Ternate adalah bukti bahwa pertanian tidak selalu membutuhkan tanah luas. Kadang yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk memulai, keyakinan untuk bertahan, dan seorang pemimpin yang mau mendengar.
Dan harapan itu, seperti tanaman yang tumbuh dari tanah sempit, kini terus hidup.


Komentar