Urbanisasi dan Pembangunan Maluku Utara Berbasis Budaya

860de92d f1d2 4d4a 82ac 21a86368a43f 1
Oleh : Alkadri Ajwan, S.Pd.,M.Hum (Kaders GP Ansor Kota Ternate)

URBANISASI adalah fenomena sosial yang terus berkembang di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Maluku Utara. Perpindahan penduduk dari desa menuju kota telah menjadi simbol perkembangan zaman dan modernisasi. Kota-kota besar dianggap sebagai pusat ekonomi, lapangan pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang lebih memadai. Namun, urbanisasi di Maluku Utara membawa dilema: di satu sisi ia menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain menghadirkan tantangan berupa ketimpangan pembangunan, kerusakan lingkungan, serta pelemahan identitas budaya.

Maluku Utara memiliki karakteristik sosial-budaya yang kaya dan unik, mulai dari warisan Kesultanan Ternate dan Tidore, tradisi adat se atorang, sistem pelayaran dan maritim Nusantara, hingga keberagaman etnis yang hidup berdampingan seperti Ternate, Tidore, Sula, Tobelo, Makean, dan komunitas pendatang dari luar daerah. Kekayaan budaya ini merupakan modal besar dalam pembangunan, bukan hanya sebagai identitas, tetapi juga sebagai sumber daya sosial dan ekonomi. Namun, proses urbanisasi yang berlangsung tanpa arah dan strategi berbasis budaya dapat membuat generasi muda semakin jauh dari akar tradisi mereka.

Di kota-kota seperti Ternate, Sofifi, dan Tidore, perubahan wajah ruang publik menunjukkan pergeseran nilai. Pusat kota kini lebih diwarnai bangunan modern, pusat perbelanjaan, dan arsitektur yang mengadopsi desain luar tanpa integrasi nilai lokal. Urbanisasi juga mempercepat perubahan pola hidup masyarakat, terutama generasi muda yang semakin terpapar gaya hidup modern melalui teknologi dan media sosial. Jika tidak dikelola, perubahan ini berpotensi melunturkan identitas lokal yang telah diwariskan lintas generasi.

Karena itu, pembangunan di Maluku Utara idealnya tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berorientasi pada pelestarian budaya. Pembangunan berbasis budaya bukan berarti menolak modernisasi, tetapi memastikan nilai-nilai lokal hadir sebagai fondasi dalam proses perubahan. Konsep pembangunan seperti ini selaras dengan gagasan cultural sustainability yang menempatkan budaya sebagai salah satu pilar pembangunan berkelanjutan selain ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Salah satu peluang strategis yang dapat dikembangkan adalah sektor pariwisata budaya. Maluku Utara memiliki aset sejarah dan tradisi yang dapat dikemas sebagai destinasi wisata, misalnya Museum Kedaton Ternate, Benteng Kalamata, tradisi kololi kie, budaya nyare, hingga situs sejarah maritim. Dengan pengelolaan profesional, wisata budaya dapat menciptakan lapangan pekerjaan, memperkuat ekonomi kreatif lokal, dan sekaligus menjaga identitas daerah. Namun, ini harus dilakukan dengan prinsip pemberdayaan masyarakat lokal, bukan sekadar komodifikasi budaya.

Selain pariwisata, pendidikan juga menjadi kunci dalam memperkuat pembangunan berbasis budaya. Kurikulum lokal yang memuat sejarah daerah, bahasa daerah, kearifan lokal, dan nilai budaya perlu diintegrasikan ke sekolah dan perguruan tinggi. Melalui pendidikan, generasi muda diajak untuk memahami budaya bukan sebagai warisan statis, tetapi sebagai energi masa depan yang dapat diolah, dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi pembangunan daerah.

Lebih jauh, perencanaan tata ruang kota dan desa di Maluku Utara perlu berbasis identitas lokal. Arsitektur kota dapat mengadopsi simbol-simbol budaya lokal, seperti motif Kesultanan atau desain arsitektur tradisional sebagai karakter estetika ruang publik. Desa-desa perlu dikembangkan tidak sekadar sebagai wilayah pinggiran, tetapi sebagai pusat nilai budaya dan ketahanan pangan. Dengan demikian, urbanisasi tidak selalu harus memaksa masyarakat meninggalkan desa, tetapi dapat menciptakan keseimbangan antara desa sebagai ruang budaya dan kota sebagai ruang modernisasi.

Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam membangun sinergi antara urbanisasi dan budaya. Kebijakan pembangunan harus melibatkan tokoh adat, akademisi, organisasi kebudayaan, dan masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat menjadi kunci agar pembangunan memiliki akar sosial yang kuat dan tidak sekadar mengikuti tren global.

Pada akhirnya, urbanisasi bukan harus menjadi ancaman bagi budaya lokal. Justru, jika dikelola dengan visi berbasis budaya, urbanisasi dapat menjadi motor penguatan identitas Maluku Utara. Kota dapat berkembang sebagai pusat teknologi dan ekonomi, sementara budaya menjadi roh yang mengikat masyarakat. Dengan demikian, Maluku Utara dapat membangun masa depan yang modern tanpa kehilangan nilai sejarah, tradisi, dan jati diri kolektifnya.

Jika arah pembangunan seperti ini terus diperkuat, maka Maluku Utara dapat menjadi contoh bagaimana daerah berkembang bukan dengan meninggalkan budaya, tetapi justru dengan menjadikannya fondasi utama pembangunan. (*)

Komentar

Loading...