Di Balik Kemakmuran Palsu Kapitalisme

Oleh: Sulfan Kiye
(Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah, FIB Unkhair)
Sudah dapat dipastikan betapa besar kerugian yang lahir dari penerapan sistem ekonomi kapitalistik. Sistem ini perlahan mencabut tiga faktor yang selama ini menjadi dasar produksi barang dan jasa: tanah, modal, dan tenaga kerja.
Dalam perkembangannya, ekonomi neoliberal memandang modal dan tenaga kerja secara subjektif, sehingga titik berangkat analisisnya selalu berasal dari sudut pandang individu yang bekerja.
Baca di: Koran Digital Malut Post Edisi Selasa, 18 November 2025
Dalam logika neoliberal, upah bukan lagi dipahami sebagai “harga” atas tenaga kerja yang dijual, tetapi menjadi “laba” dari “modal” yang dimiliki setiap orang berupa otot, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya. Konsekuensinya, setiap individu dipaksa menjadi wirausahawan atas dirinya sendiri.
Dengan cara inilah eksploitasi disembunyikan rapih dalam bingkai kontrak kerja. Setiap orang dianggap bertanggung jawab atas kemampuannya sendiri, karena itulah satu-satunya “modal” untuk terjun ke arena pasar. Tetapi benarkah eksploitasi dan penindasan itu berakhir? Justru tidak.
Perkembangan kapitalisme mutakhir yang telah mencapai tingkat pengorganisasian sangat tinggi, melahirkan kekuasaan korporasi multinasional yang melebihi otoritas negara. Dari sinilah, seperti berulang kali ditegaskan Marx, negara tak lebih dari perkakas kepentingan kaum imperialis.
Perubahan besar terjadi ketika negara memutuskan untuk menjalankan privatisasi. Melalui privatisasi, peran negara dipangkas dalam perekonomian, bahkan fungsi pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan ikut dilemahkan.
Langkah ini mempercepat konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. Privatisasi pada hakikatnya adalah mekanisme untuk mengatur aset-aset publik demi akumulasi kapital global.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar