Catatan
Terpaksa Mendefenisikan Ulang Negarawan

Oleh: Anwar Husen
(Pemerhati Sosial/ Tinggal di Tidore, Maluku Utara)
"Negarawan sejati mengimpikan 1000 tahun negaranya bisa survive, dan penghianat akan menghendaki negaranya bubar besok. Penghianat akan menuliskan bab paling kelam dalam sejarah bangsanya"
Sejak Indonesia memutuskan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah [2005], hingga presiden [2004] secara langsung pertama kali, banyak implikasi beriringan, yang banyak buruknya dan tak diduga. Di pemilihan kepala daerah paling terlihat mencolok, karena jumlahnya banyak dan variabel yang beragam.
Banyak fakta yang teramati dan saling mengarsir, bagaimana kekuasaan yang telah diraih dengan susah payah, bahkan dengan menghalalkan segala cara itu, di upayakan mempertahankannya. Dengan segala cara pula.
Motif paling utama cara melanggengkan implikasi kekuasaan itu, adalah dengan mengendors atau mendukung calon penerusnya. Istilah familiar, putra mahkota.
Di pemilihan kepala daerah, urusan dukung-mendukung putra mahkota ini paling kelihatan menonjol. Dan ada 2 motif yang bisa dilacak sebagai akarnya:
Pertama, mantan kepala daerah yang baik kinerjanya dan memilih mendukung kandidat pelanjutnya, boleh jadi, mereka menghendaki agar legacinya bisa dipertahankan, atau bahkan dilanjutkan. Ini baik juga.
Kedua, mantan kepala daerah yang minim prestasi, buruk kinerjanya, atau bahkan menyisakan potensi masalah hukum, berkepentingan mengendors penerusnya yang bisa mengamankan itu semua. Dia ingin keburukan-keburukannya tak diungkap-ungkap selepasnya nanti.
Jika hal-hal begini menjadi latar pertarungan perebutan kekuasaan di daerah, entah itu bupati, wali kota hingga gubernur, orang bisa sedikit memahaminya.
Baca Halaman Selanjutnya..



Komentar