Terlibat Aksi di PT STS, 14 Warga Maba Tengah Dipanggil Ditreskrimum Polda Maluku Utara

Ternate, malutpost.com -- Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Maluku Utara (Malut) memanggil 14 warga Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yang terlibat dalam aksi demonstrasi di PT Sambiki Tambang Sentosa (STS), pada 21 April 2025 lalu.
14 warga yang dipanggil itu berasal dari Desa Yawanli, Babasaram, Beringin Lamo dan Desa Wayamli, Kecamatan Maba Tengah. Mereka mendapatkan surat panggilan dari Ditreskrimum pada 10 Mei 2025.
Panggilan klarifikasi ini berkaitan dengan laporan dari External Officer PT STS, Kukuh Kurniawan Hermanto.
M Said Marsaoly, selaku ketua Salawaku Institute yang juga warga Halmahera Timur, kepada malutpost.com, mengatakan, dalam laporan itu perusahaan menuduh warga melakukan tindak pidana membawa senjata tajam, penghasutan, perampasan dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan ketika melakukan aksi pada 21 April 2025.
Menurutnya, mereka dilaporkan tiga hari setelah aksi demonstrasi. Ini dibuktikan dengan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP. Lidik/73.a/ IV/2025/ Ditreskrimum pada 24 April 2025. Padahal, aksi protes pada 21 April 2025 merupakan respons warga terhadap operasi tambang yang telah menyerobot lebih dari 25 hektare lahan adat Wayamli.
"Warga melakukan blokade untuk menghentikan aktivitas perusahaan yang terus memperparah kerusakan lingkungan. Aktivitas perusahaan telah merusak kebun kelapa dan kawasan hutan adat, serta dilakukan tanpa persetujuan masyarakat setempat," jelas Said melalui press rilis yang diterima malutpost.com, Jumat (16/5/2025).
Ia menegaskan, menurut analisis citra satelit, aktivitas PT STS telah menimbulkan deforestasi seluas 482,86 hektare yang merusak sungai dan sumber air bersih warga serta merampas ruang-ruang hidup warga. Padahal, lahan-lahan tersebut adalah ruang produksi ekonomi, ruang pangan.
"Upaya represif untuk membungkam kegigihan perjuangan masyarakat adat Wayamli juga ditunjukkan oleh polisi ketika membubarkan paksa warga yang tengah berjaga-jaga di wilayah adatnya dengan cara memborgol paksa warga. Peristiwa ini terjadi pada 21 April 2025 di wilayah adat Wayamli. Saat itu, warga menerima informasi bahwa perusahaan tambang nikel PT STS telah kembali beroperasi di hutan wilayah adat Wayamli," ungkapnya.
Dari situ lanjut Said, sekitar pukul 15.30 WIT, kurang lebih 13 warga adat Wayamli diutus untuk naik ke lokasi guna melakukan pengecekan. Disitu Polisi kemudian mendatangi warga dan memaksa warga untuk pulang. Ironisnya, bukan melindungi warga yang sedang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan paksa oleh korporasi, polisi justru melakukan pemaksaan dengan cara memborgol paksa sebagian warga sebelum dipulangkan.
"Sikap polisi yang seolah-olah bertindak sebagai centeng pengamanan perusahaan semakin kentara saat 300 warga Maba Tengah melakukan protes di kantor perwakilan PT STS di Desa Baburino, Maba, pada 28 April 2025. Namun aksi i itu justru dihadang oleh puluhan personel dari Polres Halmahera Timur yang di backup sekitar 30 anggota Brimob Polda Malut," tuturnya.
Bahkan, sambungnya, Polisi lantas menembaki warga dengan peluru gas air mata secara brutal tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu. Brutalitas polisi itu dapat menimbulkan korban, tiga warga luka-luka serta menyebabkan trauma psikologis mendalam bagi para ibu-ibu dan anak-anak yang terlibat dalam aksi untuk memperjuangkan keselamatan ruang hidup dan masa depan.
"Seolah tak cukup, hanya berselang satu hari dari aksi tersebut, sebanyak 20 warga yang ikut dalam aksi protes mendapatkan surat panggilan dari penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Polda Maluku Utara, pada 29 April 2025. Selain di Ditreskrimsus kali ini 14 warga dipanggil di Ditreskrimum. Makanya kerja-kerja polisi ini dapat dinilai semakin keberpihakan terhadap kepentingan perusahaan dari pada masyarakat adat yang memperjuangkan haknya," tegas Said.
Dengan pertiwa dan legitimasi Polisi yang melindungi perusahaan, pihaknya yang tergabung dari Jatam Maluku Utara, Salawaku Institute, Jatam Nasional, YLBHI, ICW, Sajogyo Institute,Transparency International (TI) Indonesia yang bersama-sama warga Halmahera Timur mendesak:
1. Mabes Polri agar segera menghentikan kriminalisasi terhadap 14 warga Maba Tengah dan warga lainnya yang menyuarakan penolakan.
2. Mabes Polri agar menyelidiki dugaan kolusi aparat kepolisian dengan pihak perusahaan tambang.
3. Mabes Polri agar memproses secara hukum dugaan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT STS.
4. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan segera mengevaluasi dan mencabut seluruh izin lingkungan PT STS, khususnya terkait dampak terhadap wilayah adat dan hutan.
5. Kementerian Kelautan dan Perikanan/Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut agar tidak menerbitkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut(KKPRL) untuk jety PT STS di Memeli karena bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Timur dan prinsip keadilan ekologis.
6. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral agar menghentikan seluruh kegiatan pertambangan PT STS dan melakukan audit menyeluruh terhadap legalitas konsesinya.
"Enam tuntutan itu harus direlasisi, karena kebiadaban perusahan sangat merugikan dan menyengsarakan masyarakat adat Halmahera Timur," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Malut, Kombes Pol. Edy Wahyu Susilo saat dikonfirmasi mengatakan, laporan tidak personal 14 orang, tapi ada laporan penganiayaan security, perusakan aset perusahaan, pengancaman menggunakan senjata tajam dan perampasan aset.
"14 orang itu dipanggil untuk dimintai klarifikasi," pungkasnya. (one)
Komentar