Inersia Politik

Douglas Panit

Struktur kekuasaan yang dulu korup dan menindas kini telah beradaptasi dan menemukan cara baru untuk bertahan dalam sistem yang terlihat demokratis. Salah satu manifestasi paling nyata dari inersia politik di Indonesia adalah dalam birokrasi dan praktik kepartaian.

Birokrasi, yang seharusnya menjadi mesin efisien pelayan publik (sesuai cita-cita Max Weber tentang birokrasi legal-rasional), sering kali berfungsi sebagai jangkar yang menahan laju reformasi.

Sistem yang terlalu hirarkis, sarat formalitas, dan minim akuntabilitas menciptakan kelembaman struktural. Para birokrat didorong untuk mempertahankan status quo karena perubahan membawa risiko bagi posisi, kenyamanan, atau jalur kekuasaan mereka.

Dalam analisis politik kontemporer, inersia ini diperkuat oleh fenomena Oligarki. Kekuatan ekonomi dan politik yang terpusat pada segelintir elite telah menciptakan vested interests (kepentingan yang tertanam kuat) dalam menjaga sistem tetap berjalan sebagaimana adanya.

Hukum, kebijakan, dan bahkan praktik pemilihan umum dirancang atau dipertahankan sedemikian rupa sehingga meminimalkan persaingan nyata dan memastikan keberlanjutan kekuasaan dan kekayaan mereka.

Kelembagaan-kelembagaan checks and balances (seperti parlemen dan peradilan) tak jarang justru menjadi alat untuk melegitimasi inersia ini, bukan untuk menantangnya.

Elit dan Lingkaran Setan Kekuasaan

Secara teoretis, kondisi ini selaras dengan Teori Elit yang dipelopori oleh Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca, yang menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat, kekuasaan akan selalu dipegang oleh sekelompok kecil elit yang terorganisir.

Di Indonesia, meskipun ada pergantian rezim dan pemilu reguler, "sirkulasi elit" yang terjadi seringkali hanya mengganti wajah tanpa mengubah substansi kekuasaan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3

Komentar

Loading...